NILAI-NILAI INDIVIDU DAN SIKAP KERJA
Nilai-Nilai Individu
Nilai (value) merupakan kata sifat yang selalu terkait
dengan benda, barang, orang atau hal-hal tertentu yang menyertai kata tersebut.
Nilai adalah sebuah konsep yang abstrak yang hanya bisa dipahami jika dikaitkan
dengan benda, barang, orang atau hal-hal tertentu. Pengkaitan nilai dengan
hal-hal tertentu itulah yang menjadikan benda, barang atau hal-hal tertentu
dianggap memiliki makna atau manfaat. Benda purbakala dianggap bernilai karena berguna
bagi generasi penerus untuk mengetahui sejarah masa lampau kita. Video tape
recorder, meski secara teknis kondisinya masih baik, dianggap manfaatnya sudah
hilang karena sudah susah mengoperasikannya mengingat kaset yang seharusnya
menjadi komplemen video tape tersebut tetidak bisa lagi diperoleh di pasaran,
semuanya tergantikan oleh VCD. Dengan demikian yang dimaksudkan dengan
nilai adalah prinsip, tujuan, atau standar sosial yang dipertahankan oleh
seseorang atau sekelompok orang (masyarakat) karena secara intrinsik mengandung
makna.
Definisi diatas bukanlah satu-satunya
definisi nilai karena setiap disiplin ilmu yang berkepentingan terhadap konsep
nilai memberikan definisi yang berbeda. Sebagai contoh, Milton Rokeach mengatakan bahwa nilai (values) adalah keyakinan
abadi (enduring belief) yang dipilih oleh seseorang atau sekelompok
orang sebagai dasar untuk melakukan suatu kegiatan tertentu (mode of conduct)
atau sebagai tujuan akhir tindakannya (end state of existence).
Dari pengertian ini
Rokeach kemudian membedakan nilai menjadi
dua yaitu :
- Terminal values dan
- Instrumental
values.
Sementara itu Robin Williams Jr. menjelaskan bahwa values bukan hanya berfungsi sebagai
kriteria atau standar untuk melakukan tindakan tetapi juga befungsi sebagai kriteria
atau standar untuk melakukan penilaian, menentukan pilihan, bersikap,
berargumentasi maupun menilai performance. Kedua definisi tsb menegaskan
bahwa pilihan seseorang atau sekelompok orang atas beberapa pilihan lainnya
yang didasarkan pada suatu kriteria tertentu akan menjadikan pilihan tersebut
sebagai keyakinan abadi.
Penjelasan diatas secara tidak langsung
menegaskan bahwa nilai cenderung bersifat permanen. Artinya sekali seseorang
telah menentukan pilihan terhadap satu nilai tertentu – sesuatu yang dianggap
benar, maka orang tersebut sulit mengubah pendiriannya. Kalaulah pendirian
tersebut berubah maka perubahannya tidak terjadi dalam waktu pendek melainkan
terjadi secara incremental. Hal ini sejalan dengan pendapat Hofstede yang mengatakan
bahwa setiap individu telah
memiliki mental program yang disebut individual mental programming.
Kriteria untuk menentukan nilai
biasanya didasarkan pada pertimbangan moralitas yakni hal-hal yang seharusnya
(ought to) atau sesuatu yang baik (good). Nilai (value) dengan
demikian merupakan sesuatu yang seharusnya (bersifat ideal) yang biasa disebut espouse values dan
bukan merupakan sesuatu yang sesunggungnya (value in use).
[1] Dalam
batas-batas tertentu, norma prilaku juga sering dianggap sama dengan values dan
menjadi pedoman untuk berprilaku. Konsep nilai seperti dikemukakan Rokeach dan
William Jr. sering disebut sebagai personal atau individual values. Contoh nilai berkaitan dengan
personal/individual values diantaranya adalah disiplin diri (self-discipline),
pengendalian diri (self-control), kesalehan dan kebaikan hati seseorang.
Sedangkan jika nilai-nilai tersebut dikaitkan dengan pekerjaan, misalnya
seperti dikemukakan Hofstede,
maka akan diperoleh konsep nilai yang lain yakni nilai-nilai kerja (work
related values). Contoh nilai-nilai kerja misalnya job involvement dan komitmen.
Bukan hanya setiap
disiplin ilmu memahami konsep nilai dengan cara berbeda, dalam bidang studi organisasi,
termasuk studi prilaku organisasi, istilah nilai juga dipahami secara
bervariasi. Ada yang menganggap bahwa konsep nilai lebih dekat dengan konsep
filosofi atau ideologi dan ada juga yang mengatakan bahwa konsep nilai lebih
dekat dengan sikap (attitude) seseorang
[2]. Terlepas dari perbedaan-perbedaan tersebut, bidang studi
organisasi pada awalnya hanya mengkaitkan konsep nilai dengan pelaku organisasi
(aktornya) yang disebut nilai-nilai personal atau individual (personal
values atau individual values) dan dengan
pekerjaan, disebut nilai-nilai kerja (work valuesatau work related values).
Mengkaitkan nilai dengan organisasi secara keseluruhan baru muncul belakangan
bersamaan dengan semakin populernya konsep budaya organisasi.
Belakangan bidang
studi organiasasi juga mengadopsi konsep nilai yang jauh sebelumnya sudah
menjadi kajian yang intensif pada disiplin ilmu lain seperti sosiologi dan
anthropologi. Pada kedua disiplin ini dikenal istilah nilai yang disebut nilai-nilai
masyarakat (societal values)
[3]. Oleh karena bidang studi perilaku
organisasi banyak berinteraksi dengan disiplin ilmu lain seperti anthropologi,
sosiologi dan psikologi dan mengadopsi beberapa konsep darinya termasuk konsep
nilai maka sangat tidak mengherankan jika di dalam lingkup kehidupan sebuah
organisasi bisa dijumpai berbagai macam kategori nilai:
- nilai-nilai masyarakat – societal values (diadopsi dari disiplin
anthropologi dan sosiologi),
- nilai-nilai organisasi (dikembangkan di dalam disiplin studi organisasi),
dan
- nilai-nilai individual dan nilai-nilai pekerjaan (keduanya diadopsi dari
disiplin psikologi).
Meski demikian esensi dari setiap konsep nilai sesungguhnya sama yakni nilai adalah :
(1) sebuah konsep atau keyakinan
(2) tentang tujuan akhir atau sebuah prilaku yang patut dicapai
(3) yang bersifat transendental untuk situasi tertentu,
(4) menjadi pedoman untuk memilih atau mengevaluasi prilaku atau sebuah
kejadian dan
[4]. Jika
komponen nilai diatas disederhanakan maka nilai terdiri dari dua komponen utama:
(1) setiap definisi memfokuskan perhatiannya pada dua jenis nilai yaitu means (alat atau tindakan) dan ends (tujuan) dan
(2) nilai dipandang sebagai preferensi (preference) atau prioritas (priority)
bagi seseorang.
Peran Nilai
Dalam bidang studi perilaku organisasi memahami nilai-nilai personal
karyawan bukan merupakan pilihan melainkan menjadi keharusan bagi para manajer
karena nilai-nilai personal merupakan landasan untuk memahami sikap dan
perilaku karyawan. Ketika seseorang bergabung dengan sebuah organisasi, Ia juga
membawa serta nilai-nilai personalnya. Artinya, seseorang telah memiliki
kriteria mana yang seharusnya dan mana yang tidak seharusnya; mana yang baik
dan mana yang buruk; mana yang benar dan mana yang dianggap salah. Dengan kata
lain, setiap orang yang bergabung dengan sebuah organisasi pasti tidak pernah
bebas nilai (value free) sehingga dalam menjalankan pekerjaannya seseorang
lebih memilih prilaku atau outcome tertentu yang sesuai dengan tata
nilainya dibandingkan dengan perilaku atauoutcome lainnya. Hal ini bisa diartikan pula
bahwa dalam batas-batas tertentu nilai personal seseorang seringkali membatasi
seseorang untuk bertindak obyektif atau rasional.
Tipe Nilai
Jika Rokeach membedakan nilai menjadi dua – terminal dan instrumental
value, Allport dan
teman-teman membuat kategorisasi nilai dengan cara berbeda, yaitu:
1. Nilai teoritik. Nilai-nilai
teoritik memberi tempat yang sangat tinggi terhadap upaya mencari kebenaran (discovery
of truth) melalui pendekatan kritis dan rasional.
2. Nilai ekonomik. Menekankan
pentingnya nilai guna dan kepraktisan
3. Nilai estetika. Memberi penghargaan
yang tinggi terhadap bentuk dan harmoni
4. Nilai sosial. Memberi perhatian yang
tinggi terhadap kepentingan masyarakat
5. Nilai politik. Memperoleh kekuasaan
(power) dan mampu mempengaruhi banyak orang merupakan indikator dari nilai
politik
6. Nilai religi. Menjunjung tinggi
aturan-aturan agama
Konflik Nilai
Organisasi
adalah tempat bertemunya berbagai macam konsep :
- nilai – nilai masyarakat (societal values),
- nilai institusi (institutional values),
- nilai organisasi (organizational values),
- nilai kerja (work values),
- nilai profesi (professional values) dan
- nilai personal (personal values).
Akibat langsung dari bertemunya konsep nilai tersebut adalah kemungkinan
terjadinya perbedaan antara satu konsep nilai dengan konsep nilai yang lain. Oleh karena itu konflik nilai sering tidak bisa
dihindarkan. Tiga diantaranya akan mendapat perhatian
pada KB ini yaitu :
-
intrapersonal conflict,
-
interpersonal conflict, dan
- konflik antara nilai individu dengan nilai
organisasi.
Ketiga jenis konflik nilai ini masing-masing bersumber pada diri
orang tersebut, hubungan antar manusia dan hubungan antara person dengan
organisasi.
Mengatasi Konflik Nilai
Untuk mengatasi konflik nilai, beberapa cara bisa dilakukan. Untuk
mengatasi intrapersonal conflict, Barbara Moses misalnya menyarankan agar organisasi bisa menjadi tempat yang
bersahabat dengan kehidupan (life-friendly organization) yang memberi
kesempatan kepada karyawan untuk merefleksikan dirinya – bagimana seorang
karyawan menjalani hidup dan menghabiskan waktunya untuk kehidupan.
Refleksi diri tersebut bisa dilakukan dengan mengajukan beberapa pertanyaan
(dapat Anda baca pada halaman 2.54 dan 2.55).
Sementara itu untuk mengatasi interpersonal
conflict, Thomas Behr menyarankan agar para eksekutif menjadi
value-centered leaders yakni menjadi seorang pemimpin yang berbasis pada
nilai-nilai. Dengan menempatkan diri seperti ini para eksekutif diharapkan bisa
menjadi mediator ketika terjadi konflik nilai, khususnya konflik yang disebabkan karena hubungan antar
personal maupun konflik nilai yang terjadi karena perbedaan
nilai-nilai personal karyawan dengan nilai-nilai organisasi.
SIKAP KERJA
Sikap adalah bentuk ungkapan
perasaan seseorang terhadap pekerjaan, baik ungkapan bernada positif maupun
negatif. Ungkapan seperti ini dalam bidang studi
perilaku organisasi sering disebut sebagai sikap karyawan terhadap sebuah
pekerjaan. Dalam kehidupan organisasi, sikap karyawan tidak hanya ditujukan
kepada pekerjaan tetapi juga pada obyek-obyek yang lain seperti gaji yang
diterima, teman kerja, atasan langsung, pimpinan perusahaan dan bahkan terhadap
organisasi secara keseluruhan.
Ada empat alasan
mengapa seorang manajer perlu memahami sikap karyawan.
-
Pertama, pada situasi tertentu sikap seseorang berpengaruh terhadap perilaku
individu orang tersebut.
-
Kedua, dalam konteks pekerjaan, membangun sikap kerja positif sangat berguna
bagi alasan kemanusiaan terlepas bahwa sikap tersebut akan meningkatkan
produktivitas seseorang atau tidak.
-
Ketiga, banyak organisasi yang dengan sengaja mendesain program untuk menciptakan
sikap positif, seperti membangun citra (image) katakanlah melalui berbagai
bentuk iklan agar konsumen memiliki sikap positif terhadap perusahaan.
- Keempat, sikap seseorang memainkan peran penting
dalam studi perilaku organisasi khususnya teori motivasi.
Definisi sikap
Sikap adalah sebuah
konstruk/konsep/bangunan yang bersifat hipotetik (hypothetical construct). Dikatakan demikian karena secara riil sikap tidak bisa dilihat dengan mata
kepala, disentuh dengan tangan atau dirasakan dengan lidah. Untuk memahami
sikap seseorang, yang bisa kita lakukan adalah mendefinisikan atau
menginterpretasikan apa yang dikatakan atau dilakukan seseorang. Dengan
demikian, untuk memahami
sikap seseorang terhadap sebuah obyek,
-
pertama, kita perlu mencermati apa yang dikatakan atau dilakukan seseorang
terhadap sebuah obyek tersebut. Langkah selanjutnya,
- kedua, adalah menginterpretasikan maksud dari
perkataan atau tindakan orang tersebut.
- Ketiga, memahami perilaku orang bersangkutan.
Sikap merupakan ungkapan perasaan seseorang yang persisten (ajeg) terhadap
sebuah obyek, baik ungkapan yang bernada postif atau negatif. Obyek dalam hal
ini bersifat generic dan bisa diklasifikasikan menjadi dua yaitu obyek fisik
dan non-fisik. Oleh karena itu obyek bisa berupa orang, tempat kerja
(organisasi), gaji, pekerjaan, kejadian atau segala hal dimana seseorang bisa
mengungkapkan perasaannya. Jadi, ketika seseorang mengatakan bahwa Ia mempunyai
sikap positif terhadap perkerjaan berarti Ia menpunyai perasaan senang
berkaitan dengan pekerjaan tersebut. Hanya saja perlu disadari pula bahwa
seseorang terkadang mempunyai perasaan positif terhadap beberapa aspek
pekerjaan namun di saat yang sama juga mempunyai perasaan negatif terhadap
beberapa aspek pekerjaan yang lain.
Sikap, seperti
halnya nilai-nilai individu (lihat penjelasan tentang peran nilai), berpengaruh
terhadap perilaku seseorang.
Bedanya adalah jika
nilai-nilai individu mempengaruhi perilaku seseorang secara keseluruhan bahkan
pada situasi berbeda, sikap hanya mempengaruhi perilaku seseorang terhadap
obyek, orang atau situasi yang spesifik. Meski demikian, meski tidak selalu,
nilai-nilai individu dan sikap seseorang biasanya berjalan seiring. Sebagai contoh seorang
manajer yang sangat menghargai seseorang yang suka membantu orang lain mungkin
akan bersikap negatif terhadap seseorang yang membantu orang lain tapi cara
membantunya tanpa mempertimbangkan etika.
Komponen Sikap
Sikap seseorang terhadap sebuah obyek, orang lain atau situasi secara umum
bisa dipahami melalui 3
komponen berbeda pembentuk sikap, yaitu: cognitive, affective dan
behavioral component.
-
Cognitive
component adalah informasi yang dimiliki seseorang
tentang obyek yang disikapi. Informasi ini meliputi data deskriptif seperti
fakta, gambar, atau pengetahuan lain yang spesifik.
-
Affective component adalah perasaan dan emosi seseorang tehadap obyek yang disikapi.
Komponen ini melibatkan aspek penilaian dan emosi, dan seringkali diekspresikan
dalam bentuk suka atau tidak suka terhadap sebuah obyek.
- Behavioral tendency component merupakan cara seseorang menunjukkan prilakunya terhadap sebuah
obyek. Dalam kehidupan organisasi, sikap seseorang bisa dipahami dengan baik
berdasarkan kombinasi antara cognitive dan affective
component.
Hubungan antara Sikap dan Perilaku
Seringkali kita
beranggapan bahwa sikap seseorang akan mempengaruhi perilakunya. Oleh karena
itu jika anda hendak mengubah perilaku seseorang terlebih dahulu anda harus
mengubah sikapnya. Namun dalam kenyataannya hubungan antara sikap dan perilaku
seseorang ternyata tidak sesederhana itu. Hubungan keduanya sangat kompleks dan
merupakan hubungan resiprokal (saling mempengaruhi) – sikap
bisa mempengaruhi prilaku dan sebaliknya prilaku juga bisa mempengaruhi sikap
seperti tampak pada gambar berikut:
Gambar 2.5 : Hubungan antara Sikap dan
Prilaku
Keterangan gambar
1. Kekuatan-kekuatan yang bersifat
situasional
2. Sikap atau nilai-nilai individu
3. Motif berprilaku
4. Pembenaran berprilaku
5. Prilaku
Gambar diatas menunjukkan bahwa sikap mempengaruhi perilaku dengan terlebih
dahulu mempengaruhi motif berperilaku. Sedangkan perilaku mempengaruhi sikap
melalui proses yang menuntut agar seseorang menyesuaikan perilakunya.
Motif berprilaku (behavior intention). Sebagian besar sikap seseorang sesungguhnya tidak secara langsung berdampak
terhadap perilaku orang tersebut. Demikian juga hanya sebagian kecil dari sikap
seseorang yang jumlahnya banyak sekali yang kemudian berubah menjadi perilaku.
Sebagian sikap yang lain tetap hanya berupa sikap tetapi tidak berlanjut sampai
menjadi perilaku. Perubahan sikap yang pada akhirnya menjadi perilaku tersebut
biasanya terjadi secara tidak langsung melainkan melalui proses antara yang
disebut motif berperilaku. Yang dimaksud dengan motif berperilaku adalah sejauh mana kita tertarik untuk
bertindak. Jadi seperti dijelaskan pada gambar diatas, sikap akan mempengaruhi perilaku
sebatas jika sikap tersebut mempengaruhi keinginan seseorang untuk bertindak.
Motif khusus. Penetapan tujuan (goal setting) dan
ekspektasi terhadap imbalan memberikan impak yang sangat besar terhadap motif
berperilaku dan membantu seseorang membangun motif khusus untuk bertindak.
Sekali motif khusus terbentuk biasanya terkait langsung perilaku tertentu. Tingkat kekhususan tersebut
ditentukan oleh empat faktor berikut:
1. Seberapa baik prilaku tertentu
telah divisualisasikan secara jelas dan detail
2. Apakah obyeknya sudah ditentukan
sehingga seseorang bisa mengarahkan prilakunya ke obyek tersebut
3. Bagaimana dengan konteks yang
melingkupi seseorang berprilaku sudah didefinisikan dengan jelas
4. Untuk berprilaku secara spesifik,
apakah waktunya sudah ditentukan dengan jelas?
Pembenaran perilaku (behavioral justifications). Yang dimaksudkan dengan behavior modification adalah upaya seseorang untuk
menginterpretasi dan memaknai perilakunya. Berdasarkan penjelasan ini, dampak
perilaku terhadap sikap merupakan kebutuhan seseorang untuk membenarkan
perilakunya. Oleh karenanya besarnya perubahan sikap seseorang sangat
tergantung pada besarnya kebutuhan seseorang untuk membenarkan perilakunya. Hal
ini terjadi jika (1) seseorang diminta untuk menjelaskan prilakunya (2) ketika
seseorang menyatakannya secara terbuka, (3) jika ada alternatif prilaku dan (4)
jika ada kebebasan berprilaku.
Merubah sikap
Jika seorang karyawan ditengarai memiliki sikap negatif terhadap satu
atau beberapa aspek dalam kehidupan organisasi biasanya manajer berusaha untuk
merubah sikap negatif tersebut menjadi sikap yang positif. Sayangnya karyawan
cenderung resisten terhadap perubahan. Oleh karena itu sebelum melakukan
perubahan sikap karyawan harus terlebih dahulu diketahui bagaimana cara terbaik
untuk melakukan perubahan dan kemungkinan tingkat keberhasilannya. Perubahan
sikap dapat dilakukan dengan menambah, menghilangkan atau memodifikasi
keyakinan atau komponen afektif lainnya. Diantaranya adalah:
1.
Memberi informasi baru.
2.
Menambah atau mengurangi rasa takut.
3.
Menambah atau mengurangi keraguan.
4.
Partisipasi dalam diskusi kelompok.
Sikap Kerja
Uraian-uraian diatas
menegaskan bahwa seorang manajer perlu memahami dengan baik sikap kerja
karyawan mengingat sikap positif atau sebaliknya sikap negatif tentu akan
berpengaruh terhadap kinerja organisasi. Pada bagian ini
akan diuraikan tiga bentuk sikap kerja yang diyakini berpengaruh terhadap
kinerja yaitu: Kepuasan kerja, komitmen organisasi dan keterlibatan kerja.
Namun sebelum semua itu diuraikan secara detail perlu terlebih dahulu memahami
anggapan dasar dan sikap kerja seperti dikemukakan oleh T. Ndraha
[5] sebagai berikut:
1.
Kerja adalah hukuman. Sebagian orang merasa
bahwa kerja adalah sebuah hukuman. Hal ini misalnya terjadi pada orang-orang
terpidana yang harus menjalani kerja social – atau tepatnya kerja paksa.
2.
Kerja adalah upeti. Pada masyarakat kuno
pada masa kerajaan, rakyat dianggap sebagai milik raja. Oleh karena itu di satu
sisi raja menuntut pengabdian dan loyalitas sepenuhnya dari rakyat dan disisi
lain, rakyat wajib mempersembahkan diri dan keluarganya kepada Sang raja yang bersangkutan.
3.
Kerja adalah beban. Bagi orang malas, kerja
adalah beban. Itulah sebabnya banyak orang yang lebih suka minta-minta daripada
bekerja. Demikian juga bagi pekerja yang berada pada posisi terpakasa atau
dipaksa, kerja adalah beban. Lebih-lebih bagi pekerja
yang bekerja tanpa imbalan
4.
Kerja adalah kewajiban. Dalam system birokrasi atau system
kontrak, kerja adalah kewajiban guna menjalankan system atau memenuhi kewajiban
sesuai kontrak.
5.
Kerja adalah sumber penghasilan. Pada umumnya masyarakat
menganggap bahwa kerja adalah sumber penghasilan. Dengan bekerja seseorang
berharap mendapat imbalan untuk menghidupi keluarga. Dalam batas-batas tertentu
anggapan dasar ini menjadi pangkal profesionalisme
6.
Kerja adalah kesenangan. Karena hobi atau cocok dengan pekerjaan,
sebagian orang menganggap kerja adalah sebuah kesenangan utamanya untuk mengisi
waktu luang.
7.
Kerja adalah status. Orang bekerja kadang-kadang bukan ingin
mendapatkan apa-apa tetapi hanya sekedar untuk mendapat status sebagai pekerja.
8.
Kerja adalah prestise atau gengsi. Bagi
sebagian orang, bekerja tidak bisa sembarangan karena hal itu menyangkut gengsi
dirinya.
9.
Kerja adalah harga diri. Harga diri
seseorang dapat dilihat dari pekrjaan dan cara mereka kerja. Menepati janji,
rajin bekerja atau bisa kerja boleh jadi bukan sekedar cara seseorang bekerja
melainkan sebagai harga diri orang tersebut.
10.
Kerja adalah aktualisasi diri. Alasan
seseorang bekerja boleh jadi terkait dengan cita-cita atau ambisinya. Dalam hal ini bekerja merupakan wahana untuk aktualisasi diri.
11.
Kerja adalah panggilan jiwa. Guru meski gajinya tidak banyak
sering menjadi pilihan seseorang karena dianggap sebagai panggilan jiwa untuk
mencerdaskan bangsa
12.
Kerja adalah pengabdian. Bagi sebagian orang, khususnya yang
sudah memiliki harta kekayaan melimpah, bekerja yang tidak mendatangkan uang
seperti bekerja di yayasan biasanya tetap dijalani karena kepeduliannya
terhadap _esame.
13.
Kerja adalah hidup. Dalam hal ini orang bekerja karena
menganggap bekerja adalah hak asasi.
14.
Kerja adalah ibadah. Kerja merupakan pernyataan syukur kepada
Yang Kuasa karena diberi kesempatan hidup.
15.
Kerja itu (adalah) suci. Kerja harus dihormati dan dihargai,
tidak boleh dikotori, dicemari dengan hal-hal yang menyebabkan aib.
Kepuasan
kerja.
Secara
umum telah dikemukakan bahwa tugas
seorang manajer adalah
-
meningkat kinerja organisasi dan
-
meningkatkan kepuasan kerja karyawan –
dua
variabel yang bisa saling mempengaruhi tetapi bisa juga independen satu sama
lain. Beberapa kasus menunjukkan bahwa kinerja yang tinggi tidak selalu diikuti
oleh kepuasan kerja karyawan. Demikian juga kepuasan kerja yang tinggi tidak
selalu menyebabkan kinerja organisasi tinggi. Yang paling ideal adalah kepuasan
kerja kerja karyawan diikuti oleh kinerja organisasi. Inilah harapan para
maanjer pada umumnya. Oleh karena itu berbagai macam studi dilakukan untuk
menciptakan kondisi ideal tersebut. Kepuasan kerja itu sendiri dalam beberapa
hal dipengaruhi oleh sikap kerja karyawan dan selanjutnya berdampak pada
keterlibatan kerja, komitmen organisasi dan tingkat kesehatan fisik dan mental
karyawan. Sebaliknya ketidakpuasan dalam bekerja bisa meningkatkan tingkat
absensi, kegersangan organisasi (organizational drift), iklim kerja yang tidak
kondusif, dan persoalan-persoalan ketenagkerjaan lainnya. Oleh karena itu dalam
praktik para manajer biasanya secara reguler melakukan survei untuk mengetahui
sikap karyawan dan dampaknya terhadap kepuasan kerja.
Komitmen organisasi.
Komitmen organisasi adalah nilai-nilai personal yang kadang-kadang
disebut sebagai loyalitas atau komitmen terhadap perusahaan. Yang dimaksud
dengan komitmen organisasi adalah tingkat identifikasi diri dan keterlibatan
karyawan terhadap organisasi.
Ada tiga karakteristik
penting berkaitan dengan komitmen organisasi, yaitu
(1) keyakinan yang sangat kuat terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi,
(2) mau berupaya lebih keras demi organisasi, dan
(3) mempunyai keinginan yang kuat untuk tetap menjadi bagian dari
organisasi.
Ketiga karakteristik ini menunujukkan bahwa komitmen organisasi bukan
sekedar loyal kepada organisasi secaa pasif melainkan berpartisipasi aktif
dengan memberi kontribusi personal agar organisasi berhasil.
Komitmen karyawan terhadap organisasi, disebabkan karena beberapa factor berikut
ini.
1.
Faktor personal. Karyawan yang lebih tua
biasanya memiliki komitmen yang lebih tinggi dibanding karyawan muda. Demikain
juga karyawan perempuan lebih berkomitmen dibandingkan karyawan laki-laki.
Sedangkan karyawan berpendidikan rendah akan menunjukkan komitmennya
dibandingkan karyawan berpendidikan lebih tinggi.
2.
Karakteristik yang terkait dengan peran
karyawan. Komitmen organisasi akan lebih kuat jika konflik peran dan ambigu relatif lebih kecil
3.
Karakteristik structural. Organisasi yang
terdesentralisasi menghasilkan komitmen yang lebih tinggi dibandingkan
organisasi yang sentralistik. Dengan desentralisasi organisasi berarti karyawan
bisa berpartisipasi langsung dalam mengambil keputusan yang berkaitan
pekerjaannya.
4.
Pengalaman kerja. Karyawan dengan
pengalaman kerja yang cukup lama dan lebih-lebih karyawan tersebut merasa
memperoleh keuntungan dari perusahaan cenderung memiliki komitmen yang lebih
tinggi.
Keterlibatan kerja (Job involement).
Keterlibat kerja bisa disebut sebagai nilai-nilai kerja. Secara umum
keterlibatan kerja didefinisikan sebagai kekuatan hubungan antara konsep diri
dan kerja individual seseorang. Seseorang dikatakan keterlibatannya dalam kerja
sangat tinggi jika: (1) berpartisipasi secara aktif. (2) memandang kerja
sebagai bagian dari hidup yang sangat penting dan (3) melihat pekerjaan dan
seberapa baik ia bekerja sebagai bagian penting dari konsep diri mereka.
Seseorang yang keterlibatannya dalam pekerjaan sangat tinggi cenderung
menyatu dengan pekerjaan – memiliki ego yang tinggi terhadap pekerjaan. Ia bisa
menghabiskan waktu berjam-jam untuk bekerja dan manakala jauh dari tempat kerja
ia selalu memikirkannya. Jika gagal mengerjakan proyek ia merasa frustasi. Jika
hasil kerjanya jelek ia merasa malu. Bagi orang-orang
semacam ini, pekerjaan adalah aspek penting dalam hidupnya.
Job involvement merupakan hasil dari kombinasi antara karakteristik
seseorang dengan factor-faktor organisasi. Seseorang akan menunjukkan
keterlibatan kerja yang lebih tinggi jika orang tersebut berkomitmen terhadap
etika kerja, atau jika ia memiliki konsep diri yang sejalan dengan kinerjanya.
Keterlibatan kerja yang lebih tinggi juga terkait dengan sejauh mana pekerjaan
tersebut memberi kesempatan bagi dirinya untuk berpartisipasi dalam membuat
keputusan penting tentang pekerjaan tersebut. Akibatnya, keterlibatan kerja
merupakan hasil dari kombinasi antara orientasi nilai Si pekerja dengan
karakteristik pekerjaan yang diharapkan yang memungkin ia terlibat dalam
pekerjaan.
INISIASI TIGA
PERSEPSI
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering dihadapkan pada
kenyataan bahwa sebuah fenomena seringkali dimaknai secara berbeda oleh orang
berbeda. Sebagai contoh, hampir semua orang tahu dan boleh jadi mengiyakan
bahwa istilah “jam karet” selalu berkonotasi buruk – tidak tepat waktu, tidak
menghargai waktu atau suka ngulur-ulur waktu. Meski demikian ada sebagian orang
yang melihat sisi positif dari jam karet. Seorang mahasiswa Jepang yang
melakukan studi tentang jam karet di Indonesia menganggap bahwa jam karet
adalah sebuah kenyataan bahwa orang Indonesia sangat fleksibel. Contoh ini
memberi gambaran bahwa fenomena yang sama dimaknai secara berbeda oleh orang
yang berbeda. Perbedaan pemaknaan ini salah satunya disebabkan karena sudut
pandang dalam melihat fenomena tersebut berbeda sehingga persepsi masing-masing
juga berbeda. Contoh ini juga sekaligus mempertegas sebuah postulat bahwa dunia
persepsi tidak sama dengan dunia rill.
Definisi
Persepsi
Persepsi sering didefinisikan sebagai proses kognitif
yang memungkinkan seseorang menerima, menyeleksi, menginterpretasikan, memahami
dan memaknai stimulus yang berasal dari lingkungan sekitar. Pengertian ini
menegaskan bahwa persepsi merupakan sebuah proses yaitu sebuah proses kognitif.
Luthan bahkan lebih tegas lagi mengatakan bahwa persepsi adalah sebuah proses
kognitif yang tidak sederhana.
Dikatakan
sebagai proses kognitif karena,
-
(1) persepsi bukan merupakan snapshot – potret sesaat terhadap stimulus melainkan sebuah
aktivitas berjalan yang berkelanjutan dan
-
(2) dalam mempersepsi, seseorang memerlukan
pengetahuan untuk memproses informasi yang terkandung dalam setiap stimulus
yang hadir dan bisa ditangkap seseorang.
Proses Persepsi
Seperti telah diutarakan sebelumnya, persepsi merupakan
proses kognitif yang panjang. Jika disederhanakan (lihat gambar), proses
tersebut bermula dari datangnya berbagai macam stimulus. Karena stimulus
jumlahnya begitu banyak sementara kapasitas manusia untuk menangkap stimulus
tersebut sangat terbatas maka langkah pertama yang dilakukan seseorang adalah
menyaringnya dengan alat sensor – biasa disebut sebagai indera penyaring
(sensory filters). Dengan menggunakan indera penyaring maka hanya stimulus yang
mendatangkan sensasi yang akan kita tangkap dan diproses lebih lanjut. Meski
demikian tidak semua sensasi bisa menarik perhatian. Oleh sebab itu sensasi
yang ditangkap oleh tubuh dikirim ke otak untuk diproses lebih lanjut. Otak manusia yang
berfungsi sebagai alat “penyaring
perhatian – attention filters” menyeleksi beberapa sensasi yang perlu
mendapat perhatian. Hasilnya, hanya beberapa sensasi yang diproses lebih lanjut
menjadi informasi. Pada tahap ini informasi masih acak. Oleh karena itu tahap
selanjutnya, tahap terakhir, informasi dikategorisasikan dan ditata (diseleksi
ulang) untuk diinterprestasi, dipahami dan dimanaknai. Dari sinilah dilakukan
penilaian terhadap stimulus yang datang kepada kita dan untuk selanjutnya
dibuat keputusan-keputusan yang benar menurut kriteria kita.
Gambar: Proses
persepsi
Dari penjelasan ini, bisa dikatakan bahwa
proses
persepsi terdiri dari tiga komponen utama yaitu:
-
menangkap sensasi,
-
memberi atensi dan
-
mengorganisasi persepsi.
Selain itu, faktor internal juga tidak kalah penting
dibandingkan faktor eksternal. Faktor internal berfungsi sebagai alat untuk
mendapatkan perhatian (attention-getting) dan biasanya dipengaruhi oleh latar
belakang psikologis seseorang. Dalam hal ini seseorang akan menyeleksi stimulus
untuk diberi perhatian tentunya jika stimulus tersebut memiliki daya tarik dan
cocok dengan kepribadian, motivasi dan unsur pembelajaran orang tersebut.
Sebagai contoh, jika seorang guru berteriak keras untuk menenangkan
murid-muridnya yang ribut sendiri, sesungguhnya bukan semata-mata karena
intensitas suaranya yang ditinggikan agar menarik perhatian para murid tetapi
boleh jadi karena guru tersebut memang memiliki kepribadian yang suka marah.
Dari contoh ini bisa dikatakan bahwa baik faktor eksternal maupun internal,
secara bersama-sama mempengaruhi proses pemberian atensi/perhatian.
Organisasi Persepsi. Setelah melalui tahap kedua
yakni menyeleksi stimulus agar bisa diberi perhatian, maka tahap terakhir dari
proses persepsi adalah melakukan tindakan segera setelah menerima informasi.
Tahapan ini sering disebut sebagai mengorganisasi persepsi (perceptual
organization). Yang dimaksud dengan mengorganisasi persepsi tidak lain
adalah proses mengorganisasi dan menginterpretasi sensasi-sensasi, yang telah
diubah menjadi informasi, menjadi pola yang mudah dipahami sehingga bisa
memberi makna bagi orang yang mempersepsi (perceiver). Suara, aroma atau
bentuk gambar visual (visual image) seringkali datang kepada kita masih
bercampur baur. Oleh karena itu jika kita mampu menangkapnya selanjutnya kita
mulai mencoba mengubahnya menjadi informasi. Setelah itu langkah selanjutnya
adalah mengorganisasi dan mengkategorisasikannya kedalam kelompok-kelompok
persepsi yang diharapkan bisa memberi makna.
Faktor
yang Mempengaruhi Persepsi
Ada tiga faktor yang mempengaruhi persepsi yaitu:
individu yang melakukan persepsi, obyek yang dipersepsi dan konteks yang
melingkupi terjadinya persepsi (lihat gambar).
Orang yang mempersepsi
|
Faktor situasi saat terjadi persepsi
|
Persepsi
|
Target yang
dipersepsi
|
Gambar : Faktor yang mempengaruhi persepsi
Orang yang Mempersepsi
(Perceiver)
Ketika seseorang
melihat sebuah obyek yang disebut target untuk dipersepsi dan mencoba
menginterpretasikan apa yang ia lihat maka hasil interpretasinya sangat
tergantung pada dan dipengaruhi oleh karakteristik personal orang tersebut,
termasuk didalamnya: kepribadian dan sikap, motivasi, interest dan pengalaman
masa lalu, dan harapan seseorang.
Obyek yang dipersepsi (target)
Faktor kedua yang mempengaruhi persepsi adalah obyek atau
target persepsi. Dalam hal ini perhatian terhadap obyek atau target persepsi
akan difokuskan pada obyek manusia atau kegiatan sosial yang melibatkan
manusia. Kedua obyek ini menjadi fokus perhatian karena mempersepsi manusia dan
kegiatan sosial yang melibatkan manusia jauh lebih sulit dan lebih menantang
ketimbang mempersepsi obyek yang bersifat fisik.
Ada tiga karakteriatik yang mempengaruhi obyek yang
dipersepsikan yaitu tampilan, komunikasi
dan status.
Konteks atau situasi
Proses mempersepsi seringkali tidak bisa dipisahkan dari
konteks atau situasi pada saat persepsi tersebut berlangsung. Konteks atau
situasi bahkan memainkan peran penting dalam proses mempersepsi. Di satu sisi
konteks terkadang bisa menambah informasi tentang obyek yang dipersepsi. Di
sisi lain, konteks juga sering berperan sebagai filter yang menghalangi proses
mempersepsi. Secara umum, konteks yang mempengaruhi persepsi adalah budaya
organisasi dan lingkungan tempat kerja.
Kesalahan
dalam Persepsi
Secara umum jenis-jenis kesalahan dalam mempersepsi
diantaranya adalah: stereotype, halo
effect, mempertahankan persepsi, mempresepsi sebagian, kepribadian,
proyeksi dan kesan.
Stereotype. Yang dimaksud dengan
stereotype adalah kecenderungan melihat orang bukan berdasarkan perilaku
individual orang tersebut tetapi berdasarkan perilaku kelompoknya. Stereotype
biasanya didasarkan pada jenis kelamin, ras, umur, agama, kewarganegaraan, atau
pekerjaan.
Halo effect. Halo effect hampir sama dengan stereotype.
Bedanya adalah dalam halo effect orang yang mempersepsi mempergunakan satu
kepribadian seseorang sebagai dasar untuk menilai orang tersebut secara
keseluruhan. Salah satu aplikasi penting dalam kesalahan mempersepsi yang
disebabkan karena halo effect adalah ketika seorang supervisor menilai kinerja
bawahan. Jika misalnya salah satu atribut dari orang yang dinilai kinerjanya
mempengaruhi persepsi Sang Supervisor dan sang Supervisor mengaitkannya dengan
atribut lain yang tidak relevan dengan penilaian kinerja, bukan tidak mungkin
penilaian kinerja yang dilakukan supervisor tidak fair dan menyesatkan
Perceptual defence.
Kadang-kadang kita berhadapan dengan stimulus yang membuat kita sendiri merasa
malu atau mengancam diri kita. Oleh karena itu bukan tidak mungkin kita enggan
menghadapinya. Kondisi semacam ini disebut perceptual defence. Informasi
yang secara personal akan mengancam kedudukan kita atau secara kultural tidak
bisa diterima biasanya cenderung diabaikan kecuali informasi tersebut datang
bertubi-tubi.
Mempersepsi secara selektif.
Yang dimaksud dengan mempersepsi secara selektif adalah proses menyaring
informasi secara sistematis untuk hal-hal yang tidak ingin kita dengar. Proses
ini biasanya terjadi sebagai respon atas hal-hal yang tidak menyenangkan yang
pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya.
Membuat teori kepribadian
sendiri. Karena kita sering berinteraksi dengan beberapa kelompok
orang, misalnya dengan orang-orang akuntansi, asuransi, seniman, atau pegawai
negeri, kita biasanya kenyang pengalaman dan paham betul dengan perilaku
kelompok-kelompok orang tersebut. Oleh karena itu kita cenderung membuat teori
sendiri mengenai profil kepribadian kelompok-kelompok orang tersebut. Misalnya
akuntan adalah orang yang pemalu, jujur, patuh, tidak asertif, dan berkata
lembut. Sementara orang-orang asuransi memiliki kepribadian sebaliknya. Dalam
batas-batas tertentu boleh jadi profil yang kita buat cukup akurat, tidak
banyak keliru. Berdasarkan pengalaman ini pula tidak jarang kita bisa secara
cepat dan akurat mempersepsi kelompok orang tersebut. Meski demikian kita tidak
boleh lupa bahwa setiap orang mempunyai kekhasan tersendiri sehingga teori yang
kita buat sesungguhnya hanya sebagai ancar-ancar saja agar bisa mengkategorikan
kelompok orang. Jika mencermati lebih detail boleh jadi situasinya berbeda.
Misalnya, tidak selalu orang yang merasa bahagia dalam pekerjaannya, pasti
orang yang lebih produktif.
Menggunakan karakteristik diri
sendiri untuk menilai orang lain.
Seringkali ketika menilai orang lain menggunakan karakteristik yang kita
miliki. Bahasa simboliknya mengukur sepatu orang dengan ukuran sepatu kita.
Cara penilaian seperti ini biasa disebut sebagai projection. Seperti
halnya kesalahan dam mempersepsi, projection
juga bisa menjadi cara yang efisien untuk mempersepsi orang lain. Permasalahan
yang berkaitan dengan projection
adalah bukan sekedar menilai orang lain dengan karakteristik diri sendiri
tetapi lebih dari itu yakni menilai secara negatif perilaku orang lain meski
orang lain tersebut sesungguhnya tidak berperilaku demikian. Penilaian negatif
kepada orang lain tersebut lebih disebabkan karena diri kita sendiri yang
sesungguhnya berperilaku negatif namun kita tidak mau mengakuinya sehingga
ditimpakan kepada orang lain. Dalam bahasa Sigmund Freud upaya ini disebut
mekanisme mempertahankan diri sendiri (self defense mechanism) yang tujuannya
adalah untuk memproteksi diri sendiri dan seolah-olah kita mampu menghadapi
orang lain yang dianggap tidak sempurna.
Kesan pertama. Tidak
jarang ketika kita bertemu pertama kali dengan orang lain kita mempunyai kesan
tertentu, entah kesan baik atau buruk. Namun seringkali kita terpengaruh
terhadap kesan pertama tersebut dan dijadikan dasar untuk memberi penilaian
berikutnya.
Manajemen
Impresi
Uraian terakhir yang berkaitan dengan kesalahan
mempersepsi adalah persoalan kesan pertama (first impression). Seperti
dijelaskan dimuka, kesan pertama seringkali mengecoh orang lain. Oleh karena
itu untuk menghindari hal tersebut, agar tidak terkecoh, pihak lawan juga perlu
melakukan hal yang sama yang disebut manajemen impresi. Seperti dikatakan
Luthan yang dimaksud dengan manajemen impresi (impression management) adalah
sebuah proses sebagai bentuk upaya untuk memanaj atau mengendalikan impresi
yang dilakukan orang lain kepada diri kita. Sederhananya, manajemen impresi
merupakan upaya untuk meng-counter
tindakan manipulatif yang dilakukan orang lain melalui pembentukan kesan
pertama. Secara umum proses manajemen impresi melibatkan dua komponen utama yaitu
(1) motivasi yang melandasi seseorang melakukan impresi dan (2) konstruksi
impresi.
Strategi manajemen impresi. Ada dua strategi yang bisa dilakukan
seorang karyawan dalam penerapan manajemen impresi. Jika seorang karyawan ingin
meminimalkan tanggungjawab terhadap kejadian yang tidak menguntungkan atau
keluar dari masalah yang selama ini mengganggu dirinya, bisa dilakukan strategi
preventif (demotion-preventive strategy). Sedangkan jika ia menginginkan
tanggungjawab maksimal terhadap sebuah hasil kegiatan yang dinilai positif bagi
dirinya atau paling tidak dirinya tampak lebih baik, ia bisa melakukan strategi
promosi diri (promotion-enhancing strategy). Untuk mengetahui lebih jauh
tentang karakteristik kedua strategi tersebut silakan And abaca di BMP yang
telah Anda miliki.
Self-fulfilling
Prophecy
Salah satu aplikasi penting dari pemahaman kita tentang
proses persepsi dalam perilaku organisasi adalah sebuah konsep yang disebut self-fulfilling
prophecy. Yang dimaksud dengan self-fulfilling prophecy adalah
sebuah proses yang menjelaskan bagaimana harapan yang berada pada pikiran
seseorang, misalnya seorang guru atau peneliti, mempengaruhi perilaku orang
lain, seperti murid atau obyek lain, sehingga orang yang dipikirkan pada
akhirnya bisa memenuhi harapan orang pertama yang memikirkan.
Teori
Atribusi
Pada intinya, teori atribusi menjelaskan tentang siapa
yang harus tanggungjawab terhadap proses kognitif berkaitan dengan perilaku
seseorang – apakah perilaku tersebut disebabkan karena kepribadiannya atau
karena dorongan lingkungan. Secara umum simpulan dari teori atribusi adalah
sebagai berikut:
1.
Ketika kita mengobservasi perilaku orang lain, kita
cenderung mengatakan bahwa perilaku orang lain tersebut lebih disebabkan karena
kepribadiannya dan faktor lingkungan sangat sedikit pengaruhnya.
2.
Ketika kita menjelaskan prilaku kita, kita cenderung
mengatakan bahwa prilaku tersebut lebih disebabkan karena dorongan lingkungan
bukan karena kepribadian.
3.
Dalam hubungan sebab akibat, ketika mengobservasi keberhasilan
atau kegagalan orang lain kita cenderung mengkaitkan keberhasilan dengan
kepribadiannya dan kegagalan dengan faktor lingkungan.
4.
Dalam menilai kinerja karyawan, kinerja yang jelek
biasanya dikaitkan dengan faktor internal karyawan, khususnya jika dampak dari
buruknya kinerja tersebut sangat serius.
5.
Karyawan cenderung mengaitkan keberhasilannya dengan
faktor internal dan kegagalannya dengan faktor eksternal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar