INISIASI KEEMPAT
MOTIVASI
Ada tiga alasan mengapa motivasi
penting bagi manajemen. Pertama, perusahaan pada umumnya berusaha untuk
merekrut karyawan-karyawan yang memiliki talenta yang dibutuhkan. Namun tidak
bisa dipungkiri jika sebagian besar perusahaan memiliki karyawan dengan
kualifikasi rata-rata. Dengan kondisi karyawan seperti ini, memotivasi karyawan
bukan sebuah pilihan tetapi sebuah keharusan bagi para manajer jika
menginginkan perusahaan yang dikelolanya terus berkembang. Kedua,
memotivasi berarti melakukan perubahan, khususnya perubahan prilaku. Oleh
karena itu memotivasi karyawan bukan pekerjaan mudah. Berbagai macam upaya,
rekayasa dan intervensi terkadang dilakukan semata-mata agar karyawan mau
melakukan perubahan prilaku. Toh hasilnya seringkali tidak seperti yang
diharapkan. Bahkan tidak jarang para manajer harus berhadapan dengan resistensi
yang begitu kuat. Berkaitan dengan semua itu, maka ketiga, sering
dikatakan bahwa memotivasi menjadi semakin mudah jika yang dimotivasi mau
mencoba. Artinya, peran pihak lain dalam motivasi sesungguhnya hanya sebatas
upaya agar orang yang dimotivasi mau melakukan tindakan, namun apakah orang
tersebut mau melakukan tindakan atau tidak semuanya dikembalikan pada orang
yang bersangkutan karena hanya orang bersangkutan yang mampu mengontrol
dirinya.
Pengertian
Motivasi
Sebuah proses psikologis yang menyebabkan
tergeraknya, terarahkannya dan terpeliharanya secara terus menerus
tindakan-tindakan sukarela yang berorientasi pada satu tujuan tertentu.
Sementara itu Luthan mengatakan
bahwa motivasi adalah sebuah proses yang dimulai dari tidak terpenuhinya
(deficiency) kebutuhan fisiologis atau psikologis yang memicu prilaku atau
dorongan untuk menggapai tujuan atau memperoleh insentif.
Untuk memperoleh pemahaman
yang lebih mendalam tentang esensi dari konsep motivasi, kedua definisi diatas
akan dielaborasi lebih lanjut. Pertama, motivasi pada dasarnya merupakan
studi tentang tindakan dimana tindakan tersebut melibatkan proses psikologis.
Hal ini bisa diartikan bahwa yang menggerakkan seseorang untuk bertindak tidak
hanya melibatkan aspek fisik (biologis) tetapi juga non-biologis (psikis dan
sosial). McCornnell misalnya mengatakan
bahwa motivasi melibatkan aspek biologis, social dan intra-psychic. Ketiga faktor
inilah yang mempengaruhi proses motivasi. Kedua, dilihat dari proses
terbentuknya, motivasi biasanya berangkat dari terjadinya ketidakseimbangan
fisiologis maupun psikologis yang membutuhkan tindakan untuk menyeimbangkannya.
Oleh karena itu jika dilihat dari komponen-komponen pembentuk motivasi,
motivasi melibatkan tiga komponen utama yaitu kebutuhan, dorongan dan
insentif/tujuan. Ketiga komponen tersebut seperti tampak pada gambar 4.1
terjadi secara berurutan (sequential) dalam pengertian kebutuhan akan terlebih
dahulu muncul sebelum seseorang terdorong untuk melakukan tindakan. Dan semua
tindakan tersebut (proses motivasi) baru akan berakhir manakala seseorang bisa
memenuhi apa yang dibutuhkan atau diinginkannya.
|
Gambar 1: Proses motivasi
1.
Kebutuhan.
Kebutuhan ialah kekurangan yang dirasakan seseorang pada suatu
waktu tertentu. Kebutuhan akan selalu muncul manakala seseorang mengalami
ketidakseimbangan fisiologis atau psikologis. Sebagai contoh, kebutuhan akan
minuman atau makanan akan muncul ketika sel-sel tubuh kita kekurangan cairan
atau makanan. Artinya, pada saat itu tubuh kita mengalami ketidakseimbangan
fisiologis. Sedangkan manakala anda merasa kesepian berarti anda mengalami
ketidakseimbangan psikologis dan anda membutuhkan seorang teman.
2.
Dorongan. Dorongan,
sering juga disebut motif, adalah energi yang dikeluarkan dan diarahkan untuk
mengembalikan keseimbangan fisiologis dan psikologis. Atau dengan kata lain,
dorongan adalah tindakan untuk memenuhi kebutuhan. Hal ini bisa diartikan bahwa
ketika kita merasa ada yang kurang (terjadi deficiency kebutuhan) atau
terjadi ketidakseimbangan tubuh, dorongan dengan sendirinya akan muncul dalam
bentuk prilaku yang diarahkan pada suatu tujuan tertentu. Sebagai contoh,
ketika tubuh kita membutuhkan makanan dan minuman maka wujud dari keduanya
adalah prilaku yang menunjukkan rasa lapar dan haus. Atau dengan kata
lain, lapar dan haus adalah dorongan untuk memenuhi makanan dan minuman. Demikian juga ketika anda kesepian
maka anda terdorong untuk mencari teman.
3.
Insentif. Insentif atau
tujuan merupakan akhir dari sebuah siklus motivasi. Yang dimaksudkan dengan
tujuan adalah segala sesuatu yang bisa memenuhi kebutuhan dan mengurangi
dorongan. Artinya ketika anda telah bisa memenuhi tujuan maka akan diperoleh kembali
keseimbangan fisiologis dan psikologis, dan dengan sendirinya motif anda untuk
mencapai tujuan akan berkurang. Makan, minum, dan mendapatkan teman seperti
dicontohkan diatas adalah insentif. Jadi jika anda telah bisa memenuhinya akan
tercipta kembali kesesimbangan fisiologis dan psikologis dan dengan sendirinya
dorongan untuk mendapatkan makanan, minuman dan teman berkurang
Ketiga,
utamanya jika kita merujuk pada definisi pertama, bisa dikatakan bahwa inti
dari proses motivasi adalah dorongan, motif atau tindakan yang wujudnya adalah
prilaku. Sederhananya, hasil dari proses motivasi adalah prilaku, khususnya
prilaku yang berorientasi tujuan. Oleh karena itu tidak berlebihan jika
dikatakan bahwa motivasi pada akhirnya mempengaruhi tindakan dan prilaku
seseorang. Meski demikian tidak semua prilaku berorientasi tujuan. Hal ini bisa
diartikan pula bahwa tidak semua prilaku terkait dengan motivasi. Hanya
prilaku-prilaku yang memunuhi karakteristik tertentu yang dianggap berorientasi
tujuan. Karakteristik tersebut adalah: intensitas tindakan, arah atau pilihan perilaku,
dan persistensi atau keajegan perilaku. Untuk jelasnya dapat dibaca pada BMP.
Berdasarkan
penjelasan tentang esensi motivasi seperti disebutkan diatas, beberapa simpulan
yang perlu mendapat perhatian. Pertama, meski motivasi bisa saja terjadi
dalam kehidupan kelompok, tetapi secara tradisional motivasi adalah fenomena
individual. Artinya, setiap orang sesuai dengan kekhasan masing-masing memiliki
kebutuhan yang berbeda sehingga prilaku dan motivasinya juga berbeda. Kedua,
motivasi sering disebut sebagai intensi yakni kemauan seseorang untuk melakukan
tindakan dan berprilaku sesuai dengan tindakan tersebut. Hal ini
mengindikasikan bahwa motivasi sesungguhnya berada dibawah kendali orang yang
bersangkutan. Kemauan seseorang mengerahkan energi dan pilihan-pilhan prilaku,
tidak ditentukan orang lain melainkan oleh diri sendiri. Kalaulah orang lain
ikut terlibat, sifatnya hanya sugesti untuk meyakinkan orang lain bahwa dirinya
perlu melakukan tindakan. Ketiga, motivasi merupakan fenomena bersegi
banyak – multifaceted. Dikatakan demikian karena motivasi atau tindakan
seseorang tidak hanya dipengaruhi oleh kebutuhan individu tetapi juga banyak
factor lain yang mempengaruhinya. Disamping itu, motivasi atau tindakan seseorang paling tidak
melibatkan dua factor penting yakni intensitas dan arah atau pilihan prilaku.
Sedangkan faktor ketiga – persistensi sering dianggap sebagai faktor ikutan.
Alasannya adalah sekali seseorang telah mengerahkan energi dan mengarahkan
prilaku untuk mencapai tujuan maka persoalan persistensi hanya sebagai penegasan
terhadap kedua faktor pertama.
Teori
Motivasi
Secara
umum teori motivasi dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok besar, yaitu:
teori kebutuhan, teori proses dan teori pembelajaran.
1. Teori Kebutuhan
Teori kebutuhan (need theory)
sering disebut juga content theory. Teori ini berangkat dari satu asumsi
bahwa setiap orang pasti mempunyai kebutuhan dan secara natural manusia akan
berusaha dan melakukan berbagai macam tindakan jika ada sebagian atau
keseluruhan kebutuhan tersebut belum terpenuhi. Seperti tampak pada gambar 2,
setiap muncul perasaan kurang, pasti akan muncul pula kebutuhan. Perasaan
kurang akan direspon dengan mencari jalan untuk memenuhi kebutuhan sehingga
timbul prilaku berorientasi tujuan. Berdasarkan prilaku tersebut pada akhirnya
kebutuhan akan terpenuhi. Proses ini akan berulang mengikuti siklus yang sama
untuk memenuhi kebutuhan lain.
Gambar 2: Siklus
motivasi berbasis kebutuhan
Berdasarkan uraian diatas, bisa
dikatakan bahwa teori kebutuhan mencoba menelaah motivasi dari sisi kondisi
internal seseorang yakni memusatkan perhatiannya pada
faktor-faktor dalam diri individu yang mengerakkan, mengarahkan, mendukung, dan
atau menghentikan perilaku. Jadi, teori ini mencoba menentukan kebutuhan khusus
yang memotivasi orang. Itulah sebabnya teori kebutuhan sering disebut sebagai
teori motivasi yang bersifat statis karena hanya mendasarkan diri pada satu
atau beberapa faktor yang terjadi saat itu dan hanya berorientasi pada masa
kini atau bahkan masa lalu. Akibatnya, teori kebutuhan sulit, kalau tidak
dikatakan tidak bisa, digunakan untuk memprediksi motivasi kerja seseorang. Hal
ini bukan berarti teori kebutuhan tidak penting. Dengan memahami teori
kebutuhan, paling tidak kita bisa memahami faktor-faktor apa saja yang
memotivasi seseorang.
Teori kebutuhan pertama kali dikembangkan
oleh Henry A. Murray pada tahun 1930an. Murray berpendapat bahwa kebutuhan
bukan factor turunan melainkan sesuatu yang bisa dipelajari (learned needs).
Artinya timbulnya kebutuhan lebih disebabkan karena factor lingkungan luar.
Dengan demikian kebutuhan seseorang akan semakin menjadi kenyataan jika
lingkungan mendukungnya. Sebagai contoh, seorang karyawan yang membutuhkan
teman tentunya akan berusaha mencari teman, namun hal itu hanya mungkin
dilakukan jika kondisinya memungkinkan yakni jika ada orang lain yang
meresponnya dan mau dijadikan teman. Berdasarkan hasil observasi dan uji
klinis (bukan berdasarkan penelitian empiris), pada awalnya Murray mendata
adanya 15 kebutuhan. Selanjutnya, kelima belas kebutuhan tersebut dibagi
menjadi dua kelompok yaitu kebutuhan primer (primary needs) dan
kebutuhan sekunder (secondary needs). Termasuk kedalam kebutuhan primer
misalnya makanan, minuman, sex, buang air besar, buang air kecil, menyusu bagi
anak-anak yang semuanya berkaitan dengan fungsi fisiologis. Sedangkan kebutuhan
sekunder meliputi: otonomi, prestasi, afiliasi, dominasi, kekuasaan, rasa
hormat, agresi dan rendah diri. Dalam perkembangannya Murray, sejalan dengan
perjalanan karirnya, menambahkan jenis-jenis kebutuhan lain.
2. Hierarkhi kebutuhan menurut Maslow
Salah satu teori kebutuhan
yang sampai saat ini masih popular adalah teori kebutuhan yang dikembangkan
oleh Abraham Maslow. Maslow mengembangkan teori kebutuhan berdasarkan asumsi
bahwa kebutuhan manusia bersifat hirarkhis mulai dari kebutuhan paling dasar
yakni kebutuhan yang harus dipenuhi agar manusia bisa hidup sampai pada
kebutuhan paling tinggi yakni kebutuhan untuk bisa mengembangkan diri. Dalam
mengembangkan teorinya Maslow berasumsi bahwa manusia akan terlebih dahulu
berupaya untuk memenuhi kebutuhan yang lebih pokok. Setelah kebutuhan tersebut
terpenuhi barulah ia mengarahkan perilaku dan tindakannya untuk memenuhi
kebutuhan berikutnya yang lebih tinggi. Demikian seterusnya sampai terpenuhinya
kebutuhan yang paling tinggi yakni mengaktualisasikan dirinya. Berkaitan dengan
hal itu maka asumsi kedua adalah manusia pada dasarnya adalah sosok yang ingin
maju dan berkembang.
Seperti tampak pada gambar 3,
Maslow membagi kebutuhan menjadi 5 jenis yang tersusun secara hirarkhis yaitu:
1. Kebutuhan
fisiologis. Dalam hirarkhi kebutuhan yang dibuat Maslow, kebutuhan fisiologis
merupakan kebutuhan manusia paling dasar dan termasuk kebutuhan-kebutuhan yang
harus dipenuhi seseorang agar bisa bertahan hidup. Termasuk didalamnya adalah:
makan, minum, oksigen, tidur dan kebutuhan seks serta kebutuhan fisik lainnya.
2. Kebutuhan
rasa aman. Jika kebutuhan fisiologis secara relatif bisa terpenuhi maka akan
muncul kebutuhan tahap kedua yaitu kebutuhan rasa aman. Termasuk dalam jenis
kebutuhan ini adalah keamanan, perlindungan, bebas dari rasa takut atau cemas,
dan memperoleh kepastian hukum
3. Kebutuhan
social. Dalam teks asli, Maslow tidak menggunakan istilah kebutuhan social
melainkan needs for belongingness and love – kebutuhan untuk bisa
diterima oleh lingkungan dan mencintai. Istilah ini kemudian disederhanakan menjadi kebutuhan social karena
esensinya sama. Termasuk dalam kebutuhan social adalah persahabatan dan
hubungan baik dengan orang lain, menyayangi dan disayangi.
4. Kebutuhan
akan penghargaan (esteem). Jenis kebutuhan ini bisa dibedakan menjadi dua yakni
kebutuhan penghargaan yang terfokus pada diri sendiri (disebut penghargaan internal
atau harga diri – self-esteem) dan penghargaan yang terfokus pada orang
lain (penghargaan eksternal). Termasuk kedalam harga diri internal adalah:
kekuatan, kemandirian, kebebasan, prestasi, menguasai dan percaya diri.
Sedangkan harga diri eksternal termasuk: reputasi, gengsi, status, dominasi,
pengakuan, martabat, apresiasi, perhatian dan terkenal.
5.
Kebutuhan akan aktualisasi diri
(self-actualization). Terakhir, kebutuhan paling tinggi dalam hirarkhi
kebutuhan adalah kebutuhan akan aktualisasi diri yakni kebutuhan untuk
memanfaatkan dan menunjukkan potensi diri. Termasuk didalamnya adalah:
kebutuhan untuk bisa merealisasi keinginannya secara mandiri, dan mengembangkan
diri secara berkelanjutan.
Gambar 3: Hirarkhi kebutuhan menurut
Maslow
Hirarkhi keubutuhannya Maslow seperti
tersebut diatas, sesungguhnya bisa diklasifikasikan dengan cara berbeda yakni
dengan melihat dari mana kebutuhan tersebut dipenuhi. Dengan klasifikasi
seperti ini, kebutuhan manusia bisa dibedakan menjadi dua yaitu:
1.
Kebutuhan order tinggi. Yang dimaksud dengan kebutuhan order tinggi adalah
kebutuhan-kebutuhan yang bisa dipenuhi dari sumber internal yakni
kebutuhan-kebutuhan yang bisa dipenuhi oleh orang bersangkutan seperti:
kebutuhan social, kebutuhan penghargaan, dan kebutuhan aktualisasi diri.
2.
Kebutuhan order rendah. Yang dimaksud kebutuahan order rendah adalah
kebutuhan-kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi secara mandiri oleh orang
bersangkutan melainkan harus melibatkan pihak eksternal seperti: kebutuhan akan
rasa aman, dan kebutuhan fisik/faali.
3. ERG Theory
Maslow menyadari bahwa teori hierarkhi kebutuhan
yang dikembangkannya masih jauh dari sempurna. Itulah sebabnya Maslow sangat
mendambakan peneliti lain yang menyempurnakannya. Adalah Clayton Alderfer yang
kemudian menyempurnakan teori hirakhinya Maslow. Dari berbagai hasil studi yang
dilakukannya, Alderfer lantas mengajukan teori kebutuhan yang dikenal sebagai
“ERG Theory”. Karena berpijak pada teorinya Maslow, dalam beberapa hal Alderfer
sependapat dengan Maslow dan beberapa hal lainnya tidak sependapat. Teori yang
dikemukakan Alderfer berkesimpulan bahwa lima hierarkhi kebutuhan yang
dikemukakan Maslow dapat dikemas menjadi hanya tiga tingkatan yaitu: existence,
relatedness dan growth needs. Oleh karenanya teori ini disebut “ERG
Theory”. Ketiga komponen tersebut adalah sebagai berikut:
1. Existence
needs. Yang dimaksud dengan existence needs adalah kebutuhan seseorang
untuk bisa bertahan hidup – kebutuhan untuk bisa eksis. Oleh karena itu,
kebutuhan jenis ini meliputi semua factor fisiologis dan material lainnya yang
dibutuhkan manusia untuk bisa bertahan hidup. Kebutuhan ini identik dengan
kebutuhan tingkat pertama dan kedua dalam hirarkhi kebutuhannya Maslow yaitu
kebutuhan fisiologis dan kebutuhan rasa aman.
2.
Relatedness needs. Yang dimaksud dengan
relatedness needs adalah kebutuhan seseorang untuk bisa berhubungan dan
berinterkasi dengan orang lain sehingga dirinya bisa diterima dan menjadi
bagian dari masyarakat. Kebutuhan jenis ini meliputi semua kebutuhan yang
berorientasi social. Jenis kebutuhan ini sama dengan kebutuhan sosialnya Maslow
3.
Growth
needs. Yang dimaksud
dengan growth needs adalah kebutuhan seseorang untuk bisa tumbuh dan berkembang
sesuai dengan potensi diri yang dimilikinya. Jadi growth needs sama dengan
aktualisasi diri seperti dikemukakan Maslow. Disamping itu, termasuk dalam
growth needs adalah sebagian dari kebutuhan harga diri khususnya yang berkaitan
dengan harga diri yang berorientasi internal.
4. Teori
Kebutuhan Menurut McClelland
Teori kebutuhan
yang juga sangat popular sampai saat ini adalah teori kebutuhan yang
dikembangkan oleh David McClelland dan tim peneliti yang mendampinginya.
McClelland menyebut teorinya sebagai “learned needs theory”. Dikatakan
demikian karena McClelland, seperti halnya Murray, beranggapan bahwa kebutuhan
bukan merupakan factor bawaan yang melekat pada diri seseorang melainkan
sesuatu yang bisa dipelajari dari lingkungan. Untuk mengembangkan teorinya,
McClelland banyak belajar dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat dalam membesarkan
anak-anak mereka[1]. Kebiasaan orang tua membimbing
anak-anaknya sangat berpengaruh terhadap cara masing-masing individu (anak yang
dibimbing) dalam mempersepsi situasi lingkungan yang pada akhirnya memotivasi
mereka untuk menentukan pilihan dan menggapai suatu tujuan. McClelland
selanjutnya mengatakan bahwa seseorang yang memiliki kebutuhan tertentu
prilakunya berbeda dengan mereka yang tidak memiliki kebutuhan. Dari sini
McClelland kemudian mencoba menelaah daftar kebutuhan yang dikemukakan oleh
Murray dan menyimpulkan bahwa manusia memiliki tiga macam kebutuhan, yakni:
kebutuhan berprestasi (need for achievement – sisingkat nAch), kebutuhan
berafiliasi (need for affiliation – nAff) dan kebutuhan untuk berkuasa (need
for power – nPow). Penjelasan
yang lebih detail dari ketiganya dapat Saudara baca di BMP.
5.
Teori Dua Faktor
Disamping ketiga teori kebutuhan yang telah
diuraikan diatas, teori lain yang berbasis kebutuhan adalah teori dua faktor
yang dikembangkan oleh Frederick Herzberg. Teori ini sering disebut
“Motivator-Hygiene Theory”. Esensi dari teori ini adalah factor yang
menyebabkan seseorang merasa puas dan factor yang menyebabkan seseorang merasa
tidak puas ternyata berbeda. Simpulan ini didasarkan pada wawancara yang
dilakukan oleh Herzberg terhadap 203 responden – akuntan dan insinyur. Ketika
mereka ditanya factor apa saja yang menyebabkan mereka merasa tidak nyaman,
tidak senang dan tidak puas, jawabannya ternyata meliputi factor-faktor yang
melingkupi pekerjaan, bukan pekerjaannya itu sendiri, seperti: masalah
administrasi dan kebijakan organisasi, gaji, para supervisor, hubungan antar
teman kerja, dan kondisi tempat kerja. Factor-faktor ini disebut sebagai dissatisfiers
– penyebab ketidakpuasan karena menciptakan potensi ketidakpuasan karyawan
tetapi tidak menjadikan karyawan merasa puas. Artinya, jika organisasi
membenahi factor-faktor ini dampaknya hanya mengurangi ketidakpuasan namun
tidak sampai menciptakan kepuasan. Oleh karena itu yang bisa dilakukan para
manajer adalah menjaga factor-faktor tersebut. Itulah sebabnya factor ini
disebut “hygiene” untuk menunjukkan karakteristiknya yang bersifat preventif.
Sedangkan ketika mereka ditanya factor-faktor apa
saja yang menyebabkan mereka merasa senang, nyaman dan puas dalam pekerjaan,
jawabannya cenderung terkait dengan pekerjaannya itu sendiri, seperti: prestasi
kerja, pengakuan terhadap hasil kerja, sejauh mana pekerjaan tersebut memberi
tantangan bagi dirinya, tanggung jawab yang diemban terhadap pekerjaan dan
kemungkinan dirinya bisa berkembang melalui pekerjaan tersebut. Semua factor
ini terkait langsung dengan tugas seseorang dalam pekerjaan atau sederhananya
terkait langsung dengan isi kandungan pekerjaan. Oleh karena itu Herzberg
menyebutnya sebagai “satisfier” – penyebab kepuasan kerja atau “motivator” –
pemotivasi kerja.
Yang
menarik dari hasil penelitian Herzberg namun sampai saat ini masih menimbulkan
kontroversi adalah kesimpulan yang menyatakan bahwa factor yang menyebabkan
ketidakpuasan dan kepuasan adalah dua factor berbeda, bukan dua factor yang
saling berlawanan – keduanya seperti disebutkan diatas adalah hyegine factor
dan motivator factor. Jika keduanya digambarkan akan tampak seperti terlihat
pada gambar 4.4 sebagai berikut.
Gambar 4: faktor penyebab ketidak puasan dan kepuasan
Seperti tampak pada gambar diatas hygiene factor
dan motivator factor keduanya tidak pernah bertemu dalam satu titik. Hygiene
factor akan bergerak dari “ketidakpuasan” menuju ke “tidak ada ketidakpuasan”.
Sementara motivator factor akan bergerak dari “kepuasan” menuju ke “tidak ada
kepuasan”. Penjelasan ini bisa diartikan pula bahwa kepuasan tidak sama dengan
tidak ada ketidakpuasan. Demikian juga ketidakpuasan tidak sama tidak ada
kepuasan. Gambar diatas secara tidak langsung juga mengatakan bahwa “hygiene
factor” bukan merupakan factor yang menciptakan kepuasan kerja. Artinya kalau
kondisi lingkungan kerja diperbaiki tetap saja tidak akan menyebabkan seorang
karyawan merasa puas. Meski demikian perbaikan lingkungan kerja atau perbaikan
gaji masih tetap diperlukan karena bisa menjaga agar ketidakpuasan tidak
meningkat. Sebaliknya, para manajer perlu memberi perhatian pada “motivator
factor” karena dengan memperbaiki sifat kerja atau memberi pengakuan terhadap
hasil kerja karyawan misalnya bisa meningkatkan kepuasan karyawan.
6.
Teori
Proses
Berbeda dengan teori kebutuhan yang menekankan arti
penting kebutuhan sebagai landasan berpijak bagi seseorang untuk bertindak dan
berprilaku, teori proses yang sering disebut juga teori kognitif (cognitive
theory), merupakan teori motivasi yang menyoroti proses terjadinya
motivasi. Teori Proses dengan
demikian mencoba menguraikan dan menganalisis bagaimana perilaku itu
digerakkan, diarahkan, didukung, dan dihentikan. Asumsi yang melandasi teori proses adalah
motivasi tidak terjadi dalam situasi statis seperti diasumsikan pada teori
kebutuhan, melainkan terjadi pada situasi dinamis dan kompleks yang melibatkan
berbagai macam factor penyebab timbulnya motivasi. Artinya, prilaku seseorang tidak
hanya dipengaruhi oleh kebutuhan orang tersebut tetapi juga oleh factor lain
diluar kebutuhan, misalnya persepsi tentang hasil yang akan diperoleh jika
melakukan suatu tindakan, tingkat keadilan terhadap imbalan yang menjadi haknya
dan tingkat kesulitan pekerjaan yang akan dihadapi. Disamping itu, teori proses
juga beranggapan bahwa manusia merupakan sosok yang berpikiran rasional dalam
memilih berbagai alternatif tindakan. Secara rasional manusia cenderung akan
memilih tindakan yang memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan kerugian.
Itulah sebabnya teori proses disebut sebagai cognitive theory karena
untuk mengambil keputusan terhadap pilihan-pilihan tindakan dan prilaku
rasional memerlukan informasi yang berada diluar dirinya.
Pada
bagian ini akan dibahas lebih detail tiga teori proses yaitu expectancy
theory (teori pengharapan), equity theory (teori keadilan atau
kewajaran) dan goal setting theory (teori penetapan tujuan).
7. Teori
Pengharapan (expentancy theory).
Teori
ini pertama kali digagas oleh Kurt Lewin dan Edward Tolman pada tahun 1930an
dan 1940an. Namun baru pada tahun 1960an teori pengharapan diformulasikan
secara sistematis dan komprehensif. Victor Vroom melalui bukunya “Work
and Motivation” yang diterbitkan tahun 1964 bisa disebut sebagai orang pertama
yang memformulasikan teori pengharapan secara matematis. Vroom mengajukan teori
pengharapan sebagai alternatif terhadap teori kebutuhan yang dianggap memiliki
banyak kelemahan. Dalam pandangan Vroom motivasi merupakan proses yang kompleks
yang melibatkan factor internal maupun eksternal. Oleh karena itu motivasi
tidak bisa dijelaskan hanya dengan teori kebutuhan yang statis yang hanya
melibatkan factor internal.
Teori pengharapan didasarkan pada sautu asumsi
bahwa motivasi ditentukan oleh hasil (outcomes) yang betul-betul diharapkan
akan terwujud sebagai akibat dari usaha yang dilakukan seseorang. Pertanyaannya
adalah factor apa saja yang mempengaruhi seseorang sehingga ia mau mengerahkan
energinya atau melakukan berbagai macam usaha dalam rangka mencapai hasil?
Menurut teori ini, faktor-faktor yang mempengaruhi usaha seseorang adalah (1)
persepsi tentang hubungan antara usaha dengan tingkat keberhasilan usaha atau
kinerja (ekspektasi), (2) persepsi tentang hubungan antara kinerja dengan
keseluruhan hasil (outcomes) yang akan diperoleh (instrumen perantara) dan (3)
nilai manfaat dari hasil (valensi). Sebagai contoh, jika anda sedang
mengerjakan tugas akhir – misalnya menulis skripsi dan meluangkan waktu selama
satu jam sehari (usaha) maka diharapkan dalam sehari anda bisa menghasilkan 3
(tiga) halaman ketikan (kinerja). Dengan 3 halaman ketikan sehari maka dalam
sebulan anda bisa menyelesaikan draft skripsi (hasil keseluruhan atau
outcomes). Pertanyaannya adalah apakah menyelesaikan skripsi dengan segera
menjadi penting atau tidak bagi anda sangat tergantung dari cara pandang anda
terhadap nilai manfaat dari skripsi tersebut. Jika anda merasa bahwa
menyelesaikan skripsi bisa memperbaiki karir maka anda akan termotivasi untuk
meluangkan waktu satu jam per hari untuk menulis skripsi. Sebaliknya, jika anda
merasa bahwa menyelesaikan skripsi dan menyelesaikan studi S1 tidak berpengaruh
terhadap kehidupan anda boleh jadi anda tidak mau meluangkan waktu untuk
menulis skripsi.
Berdasarkan ketiga variable tersebut, bisa
dikatakan bahwa teori pengharapan yang diajukan Vroom melibatkan 3 variabel
kunci yaitu: valensi, intrumen perantara dan ekspektasi. Oleh karenanya teori
pengharapan sering disebut juga VIE theory. Determinan yang mempengaruhi
usaha seseorang dapat dilihat pada gambar 4.5a yang dilanjutkan dengan diagram
prosesnya – gambar 4.5b.
E ®
P
Ekspektasi: Persepsi tentang probabilitas
Usaha
mempengaruhi kinerja
P ® O
|
Instrumentalitas/Perantara: Persepsi
tentang
Hubungan antara kinerja dengan hasil
O
±
Valensi: Nilai dari hasil
Dimana:
E adalah usaha
P adalah kinerja
O adalah
hasil
Gambar 4.5a: Determinan
yang mempengaruhi usaha
Usaha ----®
Kinerja ----® Hasil ±
Ekspektasi
Instrumentalitas/ Valensi
Perantara
Gambar 4.5b :
Proses motivasi menurut Vroom
Ekspektasi.
Menurut Vroom yang dimaksud dengan ekspektasi atau harapan adalah keyakinan
seseorang bahwa kinerja merupakan akibat dari kegiatan usaha yang dilakukan
seseorang. Jika seseorang melakukan usaha dengan derajat tertentu maka
diharapkan akan dihasilkan kinerja dengan derajat tertentu pula. Atau dengan
kata lain usaha -------® harapan terhadap suatu kinerja. Berkaitan dengan hal
ini, ada satu catatan penting yang perlu diperhatihan yakni harapan terhadap
sutu hasil merupakan harapan yang bersifat subyektif. Artinya, bisa saja semua
harapan tersebut tercapai atau sebaliknya sama sekali tidak tercapai. Atau
apakah harapan tersebut hanya tercapai sebagian, katakanlah hanya 20%, 35% atau
80% tentunya sangat bergantung pada keyakinan subyektif anda. Jika
harapan-harapan ini dinotasikan dalam bentuk statistik maka kemungkinan
(probabiltas) tercapainya sebuah kinerja bergerak dari 0 sampai 1. Jika harapan
tercapainya kinerja adalah nol (0) berarti usaha yang akan dilakukannya sama
sekali tidak berpengaruh terhadap capaian kinerja. Sebagai contoh, jika anda
seorang tukang ketik namun tidak hafal susunan huruf di keyboard maka
probabalitas untuk tidak membuat salah ketik bisa jadi sangat rendah,
katakanlah hanya 10%. Bahkan mungkin saja probabilitasnya adalah nol yang
berarti anda pasti membuat kesalahan.
Instrumen Perantara.
Yang dimaksud dengan instrumen perantara adalah keyakinan seseorang bahwa
keseluruhan hasil dari sebuah aktivitas sangat bergantung pada keberhasilan
dalam melakukan sebuah aktivitas (kinerja). Artinya, kinerja akan menjadi
instrumen untuk menciptakan keseluruhan hasil. Pada contoh diatas misalnya
menyelesaikan skripsi merupakan instrumen untuk lulus sarjana. Tanpa skipsi bisa dikatakan bahwa anda tidak
mungkin lulus sarjana. Menurut teori ini, instrumen perantara dinotasikan dalam
kisaran antara –1,0 sampai +1,0. Notasi ini mengindikasikan bahwa jika
keseluruhan hasil sepenuhnya tergantung pada kinerja maka derajat perantara =
+1.0. Sedangkan derajat –1,0 menunjukkan bahwa keseluruhan hasil sama sekali
tidak bergantung pada kinerja bahkan sebaliknya. Sebagai contoh, jika anda
meluangkan banyak waktu bahkan ketika di kantor sekalipun untuk menulis skripsi
boleh jadi karir anda malah bermasalah karena tugas-tugas kantor tidak
terselesaikan.
Valensi. Seperti yang dimaksudkan Vroom, valensi adalah nilai manfaat yang
diperoleh dari keseluruhan hasil. Nilai manfaat ini tentunya sangat bergantung
pada preferensi seseorang. Artinya, keseluruhan hasil yang akan diperoleh boleh
jadi dipandang sebagai bermanfaat bagi dirinya (valensi positif) atau
sebaliknya sangat tidak bermanfaat bagi dirinya (valensi negatif). Sebagai
contoh, jika dengan lulus sarjana anda akan mendapat promosi jabatan maka anda
memandang lulus sarjana dengan valensi positif. Sebaliknya jika lulus sarjana
anda malah akan ditempatkan di daerah terpencil yang tidak disukai maka anda akan
menganggap bahwa lulus tidak memiliki nilai manfaat, atau valensi negatif.
Valensi dengan demikian berkaitan erat dengan kebutuhan seseorang. Apakah keseluruhan hasil tersebut sesuai dengan yang
selama ini dibutukannya atau tidak. Dalam notasi, valensi bisa nyatakan dalam
sebuah skala misalnya antara –10 sampai dengan +10. Valensi +10 berarti
keseluruhan hasil sangat cocok dengan kebutuhannya, valensi 0 berarti netral
dan valensi –10 berarti bertolak belakang dengan kebutuhannya.
Dari
keseluruhan penjelasan diatas, akhirnya teori pengharapannya Vroom dapat
dibuatkan formula perhitungan sebagai berikut:
Effort
(Usaha) = exp S (I.V)
Dimana:
exp adalah ekspektasi atau harapan
I adalah Instrumen perantara
V adalah valensi.
8. Teori
Ekspektasi Menurut Porter dan Lawler III.
Teori
pengharapan yang dikemukakan Vroom seperti tersebut diatas kemudian
diperbaharui oleh dua orang peneliti prilaku organisasi yaitu: Lyman Porter dan
Edward Lawlwer III. Kedua peneliti ini
mengembangkan teori perharapannya Vroom untuk (1) mengidentifikasi
sumber-sumber valensi dan ekspektasi dan (2) menjelaskan keterkaitan antara
usaha dengan kinerja dan kepuasan kerja. Secara umum hubungan antara motivasi
dengan kinerja dan kepuasan kerja digambarkan pada gamber 6 berikut ini.
Keterangan gambar.
1. Nilai
imbalan/balas jasa (reward)
2. Persepsi tentang
probabiltas usaha à imbalan/reward
3. Usaha
1. Kapabilitas
dan Kepribadian seseorang
2. Persepsi
tentang peran seseorang (role perception)
3. Kinerja
4. A.
Intrinsic reward
B. Extrinsic reward
5. Persepsi
tentang kewajaran/keadilan imbalan
6. Kepuasan
Gambar 4. 6:
Teori Pengharapan menurut Porter and Lawler III.
Gambar diatas menunjukkan bahwa sebuah usaha yang
akan dilakukan (kotak no. 3) dipengaruhi oleh dua factor yaitu: nilai imbalan
yang diharapkan (kotak no. 1) dan persepsi tentang kemungkinan usaha tersebut
menghasilkan imbalan (kotak no. 2). Atau dengan kata lain, usaha adalah fungsi dari imbalan yang diharapkan dan
probabilitas mendapatkan imbalan. Sementara itu kinerja tidak dipengaruhi
semata-mata oleh usaha seseorang tetapi juga oleh ketrampilan dan kepribadian
orang tersebut (kotak no.4) dan persepsi terhadap peranan orang tersebut dalam
melaksanakan kegiatan (kotak no. 5). Hal ini bisa diartikan bahwa dengan
tingkat usaha tertentu, seseorang dengan kemampuan yang baik akan menghasilkan
kinerja yang baik pula dibandingkan dengan orang yang kemampuannya lebih
rendah. Demikian juga, sebuah usaha akan menghasilkan kinerja yang baik jika orang
yang bersangkutan memahami dan menyenangi pekerjaan tersebut.
Terakhir, gambar diatas juga menjelaskan bahwa
seseorang akan menerima dua macam imbalan – intrinsic (kotak no. 7A) dan
extrinsic (kotak no. 7B) sebagai akibat dari kinerjanya. Imbalan yang bersifat
intrinsic adalah jenis imbalan yang diterima seseorang terkait dengan perasaan
senang terhadap pekerjaan yang dijalaninya. Imbalan seperti ini umumnya berupa
imbalan psikologis seperti: pekerjaan tersebut sangat penting dan bermakna;
orang yang melakukan kegiatan mempunyai kebebasan untuk menggunakan
keahliannya; perasaan senang karena pekerjaan yang telah diselesaikannya
hasilnya masuk pada high quality; perasaan senang karena pekerjaan yang telah
diselesaikannya sesuai dengan harapan. Sedangkan imbalan extrinsic adalah
imbalan yang diperoleh bukan karena pekerjaan tersebut tetapi karena diberikan
orang lain seperti gaji, bonus, promosi jabatan, dan penghargaan. Kedua jenis
imbalan tersebut, jika dianggap fair (kotak no. 8), akan berpengaruh terhadap
kepuasan kerja (kotak no. 9). Selanjutnya, siklus ini akan berulang untuk
usaha-usaha lain dan sangat dipengaruhi oleh tingkat kepuasan yang diperoleh
saat ini.
9. Equity Theory
Hubungan
kerja antara karyawan dengan perusahaan seringkali dianggap sebagai hubungan
yang bersifat transaksional. Karyawan dan perusahaan seolah-olah merupakan dua
belah pihak yang sedang melakukan transaksi atau pertukaran. Karyawan
merupakan pihak yang menjual sumberdaya (labor power) kepada pihak
perusahaan. Sumberdaya yang dijual karyawan diantaranya adalah: pendidikan,
tenaga kerja, pengalaman, ketrampilan dan usaha. Perusahaan di sisi lain,
sebagai pihak yang membeli jasa karyawan mempunyai kewajiban untuk membayar
karyawan, katakanlah berupa gaji, bonus, kompensasi, promosi jabatan dan
sebagainya. Hubungan pertukaran antara karyawan dengan perusahaan seperti ini
sering disebut sebagai “hubungan saling menerima dan memberi” atau sederhananya
disebut hubungan pertukaran social. Dalam pertukaran social seperti ini, kedua
belah pihak seharusnya memiliki kedudukan setara. Namun dalam praktik, karyawan
seringkali berada pada posisi lemah sehingga tidak jarang karyawan merasa
diperlakukan tidak adil. Akibatnya tidak jarang pula karyawan membalas
ketidakadilan tersebut, yang paling ekstrim misalnya mencuri atau merusak asset
perusahaan dan yang paling sederhana sekedar menunjukkan sikap dan prilaku
negatif terhadap perusahaan dan menurunnya motivasinya.
Gambaran diatas secara tidak langsung menunjukkan
bahwa persepsi karyawan terhadap rasa keadilan/ketidakadilan merupakan salah
satu factor yang mempengaruhi motivasi karyawan dalam bekerja. Teori motivasi
yang menjelaskan hal ini disebut equity theory. Teori yang pertama kali
digagas oleh J. Stacy Adams ini pada dasarnya berasumsi bahwa dalam pertukaran
social, karyawan akan mempertanyakan apakah hubungan kedua belah pihak
merupakan hubungan yang setara atau sebaliknya karyawan diperlakukan secara
tidak adil. Karyawan mengukur tingkat kesetaraan tersebut dengan mengukur
apakah input yang dikeluarkannya sebanding dengan hasil atau outcome
yang akan diterima. Perbandingan input-output ini kemudian diperbandingkan
dengan input-output dari orang lain yang dikenalnya, misalnya yang melakukan
pekerjaan yang sama, memiliki pendidikan sama, atau jenis kelamin sama, atau
dengan pengalaman diri untuk pekerjaan yang sama sebelumnya. Yang dimaksud
dengan input adalah semua pengorbanan yang memungkinkan seorang karyawan
melaksanakan pekerjaan, termasuk didalamnya: pendidikan, pengalaman,
ketrampilan dan usaha. Sedangkan yang dimaksud dengan output adalah berbagai
macam bentuk imbalan yang diberikan perusahaan kepada karyawan. Diantaranya
adalah: gaji, penghargaan, kesempatan untuk mengembangkan diri dan sebagainya.
10. Goal Setting
Theory
Sebagai makhluk hidup, manusia pasti memiliki tujuan yang ingin dicapai.
Sebagian orang menginginkan harmoni kehidupan. Sebagiannya lagi
menginginkan hidup yang sejahtera dan sebagiannya lagi memiliki tujuan hidup
yang lain (lihat modul 2 tentang nilai-nilai individu). Hanya saja tujuan hidup
tersebut terkadang tidak mudah digapai. Penyebabnya bukan karena tidak mampu
menggapainya tetapi lebih disebabkan karena seseorang kadang-kadang diliputi
keraguan dalam menentukan tujuan hidupnya. Misalnya apakah harmoni kehidupan
atau mencapai puncak prestasi yang sesungguhnya menjadi tujuan hidupnya
seringkali tidak bisa ditetapkan secara tegas. Keraguan dalam menetapkan tujuan
secara berturut-turut menjadi penyebab tidak fokusnya upaya untuk mencapai
tujuan tersebut. Sebaliknya, jika seseorang sejak semula telah memiliki dan
menetapkan tujuan yang spesifik, hampir pasti intensitas, pilihan dan
persistensi tindakan akan difokuskan dan diorientasikan kearah tujuan tersebut.
Akibatnya tujuan akan jauh lebih mudah dicapai.
Situasi yang kurang lebih sama juga terjadi dalam
kehidupan sebuah organisasi. Seorang karyawan yang bekerja serabutan tanpa
tugas, beban kerja dan target yang jelas, jangankan kinerjanya baik, ia malah
sering mengalami frustasi karena tidak ada pedoman dalam melakukan pekerjaan.
Akibatnya pada saat-saat tertentu ia merasa beban kerjanya berlebihan –
overload dan pada waktu yang lain ia merasa sebaliknya underload.
Ujung-ujungnya kinerjanya bahkan semakin memburuk karena terjadi demotivasi.
Sebaliknya jika sejak semula karyawan tersebut diberi tugas, beban kerja dan
target yang jelas dan iapun memahami dan menyadari akan beban tugas tersebut
sebagai beban tugas yang harus diselesaikannya, karyawan tersebut dapat
mengonsentrasikan energi dan upayanya untuk menyelesaikan tugas yang menjadi
tanggungjawabnya. Bahkan bukan tidak mungkin semua target bisa diselesaikannya
dalam waktu yang lebih singkat dari yang diharapkan. Semua ini bisa terjadi
karena kejelasan tugas akan mendorong dan memotivasi seseorang untuk bekerja
lebih baik dan lebih produktif. Atau dengan kata lain, penetapan tujuan (goal
setting) yang jelas akan mempengaruhi motivasi seseorang untuk mencapai
tujuan tersebut dan meningkatkan kinerjanya. Sebagai contoh, ketika Fakultas
Ekonomi Universitas Terbuka menegaskan bahwa modul “Prilaku Organisasi” harus
diselesaikan dalam waktu 8 bulan atau kontrak kerja akan dibatalkan, penulispun
sadar bahwa semua energi harus dikerahkan untuk menyelesaikan modul tersebut
atau pekerjaan menjadi sia-sia.
Teori motivasi yang berkaitan dengan penetapan
tujuan dan dampaknya terhadap kinerja disebut goal setting theory. Teori
ini digagas oleh Edwin Locke pada tahun 1968. Meski sering disebut sebagai
orang pertama yang menggagas goal setting theory, Locke sendiri mengacu
pada mazhab scientific management yang dikembangkan oleh Frederick Taylor.
Menurut Locke, meski Taylor tidak berbicara goal setting, tetapi cara Taylor
mendorong karyawan untuk bekerja lebih produktif, yang ditandai dengan
menetapkan standard pencapaian kinerja, tidak lain adalah sebuah motivasi
berbasis goal setting. Hanya saja, pada waktu itu Taylor menggunakan studi
waktu dan gerak (time and motion study) sebagai dasar untuk menetapkan tujuan
dan kinerja karyawan[2].
Seperti tercermin dari namanya, goal setting theory
merupakan teori motivasi berbasis tujuan. Dengan demikian tujuan dengan segala
variasinya seperti target dan sasaran merupakan kata kunci untuk memahami goal
setting theory. Teori ini menyatakan bahwa tujuan yang spesifik dan sulit, jika
bisa diterima dan dipahami karyawan, akan meningkatkan kinerja karyawan
ketimbang tujuan yang bersifat umum dan tidak spesifik, mudah dicapai dan tidak
ada tujuan[3].
Dalam hal ini peningkatan kinerja yang disebabkan karena tingkat kekhususan dan
kesulitan tujuan disebut goal setting effect – dampak penetapan tujuan.
Sedangkan prosedur penetapan tujuan disebut goal setting technique –
teknik penetapan tujuan. Bangunan dari goal setting theory dan
komponen-komponen yang terkait dengan proses motivasi dapat dilihat pada gambar
8 berikut ini.
Gambar 8 :
Komponen goal setting
Tidak ada komentar:
Posting Komentar