SEMESTER 1

Rabu, 25 Maret 2015

NILAI - NILAI INDIVIDU DAN SIKAP KERJA (INISIASI 1a)

NILAI-NILAI INDIVIDU DAN SIKAP KERJA

Nilai-Nilai Individu

Nilai (value) merupakan kata sifat yang selalu terkait dengan benda, barang, orang atau hal-hal tertentu yang menyertai kata tersebut. Nilai adalah sebuah konsep yang abstrak yang hanya bisa dipahami jika dikaitkan dengan benda, barang, orang atau hal-hal tertentu. Pengkaitan nilai dengan hal-hal tertentu itulah yang menjadikan benda, barang atau hal-hal tertentu dianggap memiliki makna atau manfaat. Benda purbakala dianggap bernilai karena berguna bagi generasi penerus untuk mengetahui sejarah masa lampau kita. Video tape recorder, meski secara teknis kondisinya masih baik, dianggap manfaatnya sudah hilang karena sudah susah mengoperasikannya mengingat kaset yang seharusnya menjadi komplemen video tape tersebut tetidak bisa lagi diperoleh di pasaran, semuanya tergantikan oleh VCD. Dengan demikian yang dimaksudkan dengan nilai adalah prinsip, tujuan, atau standar sosial yang dipertahankan oleh seseorang atau sekelompok orang (masyarakat) karena secara intrinsik mengandung makna.
Definisi diatas bukanlah satu-satunya definisi nilai karena setiap disiplin ilmu yang berkepentingan terhadap konsep nilai memberikan definisi yang berbeda. Sebagai contoh, Milton Rokeach mengatakan bahwa nilai (values) adalah keyakinan abadi (enduring belief) yang dipilih oleh seseorang atau sekelompok orang sebagai dasar untuk melakukan suatu kegiatan tertentu (mode of conduct) atau sebagai tujuan akhir tindakannya (end state of existence). Dari pengertian ini
Rokeach kemudian membedakan nilai menjadi dua yaitu :
- Terminal values dan
- Instrumental values.
Sementara itu Robin Williams Jr. menjelaskan bahwa values bukan hanya berfungsi sebagai kriteria atau standar untuk melakukan tindakan tetapi juga befungsi sebagai kriteria atau standar untuk melakukan penilaian, menentukan pilihan, bersikap, berargumentasi maupun menilai performance. Kedua definisi tsb menegaskan bahwa pilihan seseorang atau sekelompok orang atas beberapa pilihan lainnya yang didasarkan pada suatu kriteria tertentu akan menjadikan pilihan tersebut sebagai keyakinan abadi.
Penjelasan diatas secara tidak langsung menegaskan bahwa nilai cenderung bersifat permanen. Artinya sekali seseorang telah menentukan pilihan terhadap satu nilai tertentu – sesuatu yang dianggap benar, maka orang tersebut sulit mengubah pendiriannya. Kalaulah pendirian tersebut berubah maka perubahannya tidak terjadi dalam waktu pendek melainkan terjadi secara incremental. Hal ini sejalan dengan pendapat Hofstede yang mengatakan bahwa setiap individu telah memiliki mental program yang disebut individual mental programming.
Kriteria untuk menentukan nilai biasanya didasarkan pada pertimbangan moralitas yakni hal-hal yang seharusnya (ought to) atau sesuatu yang baik (good). Nilai (value) dengan demikian merupakan sesuatu yang seharusnya (bersifat ideal) yang biasa disebut espouse values dan bukan merupakan sesuatu yang sesunggungnya (value in use).
[1] Dalam batas-batas tertentu, norma prilaku juga sering dianggap sama dengan values dan menjadi pedoman untuk berprilaku. Konsep nilai seperti dikemukakan Rokeach dan William Jr. sering disebut sebagai personal atau individual values. Contoh nilai berkaitan dengan personal/individual values diantaranya adalah disiplin diri (self-discipline), pengendalian diri (self-control), kesalehan dan kebaikan hati seseorang. Sedangkan jika nilai-nilai tersebut dikaitkan dengan pekerjaan, misalnya seperti dikemukakan Hofstede, maka akan diperoleh konsep nilai yang lain yakni nilai-nilai kerja (work related values). Contoh nilai-nilai kerja misalnya job involvement dan komitmen.
Bukan hanya setiap disiplin ilmu memahami konsep nilai dengan cara berbeda, dalam bidang studi organisasi, termasuk studi prilaku organisasi, istilah nilai juga dipahami secara bervariasi. Ada yang menganggap bahwa konsep nilai lebih dekat dengan konsep filosofi atau ideologi dan ada juga yang mengatakan bahwa konsep nilai lebih dekat dengan sikap (attitude) seseorang
[2]. Terlepas dari perbedaan-perbedaan tersebut, bidang studi organisasi pada awalnya hanya mengkaitkan konsep nilai dengan pelaku organisasi (aktornya) yang disebut nilai-nilai personal atau individual (personal values atau individual values) dan dengan pekerjaan, disebut nilai-nilai kerja (work valuesatau work related values). Mengkaitkan nilai dengan organisasi secara keseluruhan baru muncul belakangan bersamaan dengan semakin populernya konsep budaya organisasi.
Belakangan bidang studi organiasasi juga mengadopsi konsep nilai yang jauh sebelumnya sudah menjadi kajian yang intensif pada disiplin ilmu lain seperti sosiologi dan anthropologi. Pada kedua disiplin ini dikenal istilah nilai yang disebut nilai-nilai masyarakat (societal values)
[3]. Oleh karena bidang studi perilaku organisasi banyak berinteraksi dengan disiplin ilmu lain seperti anthropologi, sosiologi dan psikologi dan mengadopsi beberapa konsep darinya termasuk konsep nilai maka sangat tidak mengherankan jika di dalam lingkup kehidupan sebuah organisasi bisa dijumpai berbagai macam kategori nilai:
-       nilai-nilai masyarakat – societal values (diadopsi dari disiplin anthropologi dan sosiologi),
-       nilai-nilai organisasi (dikembangkan di dalam disiplin studi organisasi), dan
-       nilai-nilai individual dan nilai-nilai pekerjaan (keduanya diadopsi dari disiplin psikologi).
Meski demikian esensi dari setiap konsep nilai sesungguhnya sama yakni nilai adalah :
(1) sebuah konsep atau keyakinan
(2) tentang tujuan akhir atau sebuah prilaku yang patut dicapai
(3) yang bersifat transendental untuk situasi tertentu,
(4) menjadi pedoman untuk memilih atau mengevaluasi prilaku atau sebuah kejadian dan
(5) tersusun sesuai dengan arti pentingnya
[4]. Jika komponen nilai diatas disederhanakan maka nilai terdiri dari dua komponen utama:
(1) setiap definisi memfokuskan perhatiannya pada dua jenis nilai yaitu means (alat atau tindakan) dan ends (tujuan) dan
(2) nilai dipandang sebagai preferensi (preference) atau prioritas (priority) bagi seseorang.
Peran Nilai
Dalam bidang studi perilaku organisasi memahami nilai-nilai personal karyawan bukan merupakan pilihan melainkan menjadi keharusan bagi para manajer karena nilai-nilai personal merupakan landasan untuk memahami sikap dan perilaku karyawan. Ketika seseorang bergabung dengan sebuah organisasi, Ia juga membawa serta nilai-nilai personalnya. Artinya, seseorang telah memiliki kriteria mana yang seharusnya dan mana yang tidak seharusnya; mana yang baik dan mana yang buruk; mana yang benar dan mana yang dianggap salah. Dengan kata lain, setiap orang yang bergabung dengan sebuah organisasi pasti tidak pernah bebas nilai (value free) sehingga dalam menjalankan pekerjaannya seseorang lebih memilih prilaku atau outcome tertentu yang sesuai dengan tata nilainya dibandingkan dengan perilaku atauoutcome lainnya. Hal ini bisa diartikan pula bahwa dalam batas-batas tertentu nilai personal seseorang seringkali membatasi seseorang untuk bertindak obyektif atau rasional.
Tipe Nilai
Jika Rokeach membedakan nilai menjadi dua – terminal dan instrumental value, Allport dan teman-teman membuat kategorisasi nilai dengan cara berbeda, yaitu:
1. Nilai teoritik. Nilai-nilai teoritik memberi tempat yang sangat tinggi terhadap upaya mencari kebenaran (discovery of truth) melalui pendekatan kritis dan rasional.
2. Nilai ekonomik. Menekankan pentingnya nilai guna dan kepraktisan
3. Nilai estetika. Memberi penghargaan yang tinggi terhadap bentuk dan harmoni
4. Nilai sosial. Memberi perhatian yang tinggi terhadap kepentingan masyarakat
5. Nilai politik. Memperoleh kekuasaan (power) dan mampu mempengaruhi banyak orang merupakan indikator dari nilai politik
6. Nilai religi. Menjunjung tinggi aturan-aturan agama
Konflik Nilai
 Organisasi adalah tempat bertemunya berbagai macam konsep :
- nilai – nilai masyarakat (societal values),
- nilai institusi (institutional values),
- nilai organisasi (organizational values),
- nilai kerja (work values),
- nilai profesi (professional values) dan
- nilai personal (personal values).
Akibat langsung dari bertemunya konsep nilai tersebut adalah kemungkinan terjadinya perbedaan antara satu konsep nilai dengan konsep nilai yang lain. Oleh karena itu konflik nilai sering tidak bisa dihindarkan. Tiga diantaranya akan mendapat perhatian pada KB ini yaitu :
-       intrapersonal conflict, 
-       interpersonal conflict, dan 
-       konflik antara nilai individu dengan nilai organisasi.
Ketiga jenis konflik nilai ini masing-masing bersumber pada diri orang tersebut, hubungan antar manusia dan hubungan antara person dengan organisasi.
Mengatasi Konflik Nilai
Untuk mengatasi konflik nilai, beberapa cara bisa dilakukan. Untuk mengatasi intrapersonal conflict, Barbara Moses misalnya menyarankan agar organisasi bisa menjadi tempat yang bersahabat dengan kehidupan (life-friendly organization) yang memberi kesempatan kepada karyawan untuk merefleksikan dirinya – bagimana seorang karyawan menjalani hidup dan menghabiskan waktunya untuk kehidupan. Refleksi diri tersebut bisa dilakukan dengan mengajukan beberapa pertanyaan (dapat Anda baca pada halaman 2.54 dan 2.55).
Sementara itu untuk mengatasi interpersonal conflict, Thomas Behr menyarankan agar para eksekutif menjadi value-centered leaders yakni menjadi seorang pemimpin yang berbasis pada nilai-nilai. Dengan menempatkan diri seperti ini para eksekutif diharapkan bisa menjadi mediator ketika terjadi konflik nilai, khususnya konflik yang disebabkan karena hubungan antar personal maupun konflik nilai yang terjadi karena perbedaan nilai-nilai personal karyawan dengan nilai-nilai organisasi.
SIKAP KERJA
Sikap adalah bentuk ungkapan perasaan seseorang terhadap pekerjaan, baik ungkapan bernada positif maupun negatif. Ungkapan seperti ini dalam bidang studi perilaku organisasi sering disebut sebagai sikap karyawan terhadap sebuah pekerjaan. Dalam kehidupan organisasi, sikap karyawan tidak hanya ditujukan kepada pekerjaan tetapi juga pada obyek-obyek yang lain seperti gaji yang diterima, teman kerja, atasan langsung, pimpinan perusahaan dan bahkan terhadap organisasi secara keseluruhan.
Ada empat alasan mengapa seorang manajer perlu memahami sikap karyawan. 
-       Pertama, pada situasi tertentu sikap seseorang berpengaruh terhadap perilaku individu orang tersebut. 
-       Kedua, dalam konteks pekerjaan, membangun sikap kerja positif sangat berguna bagi alasan kemanusiaan terlepas bahwa sikap tersebut akan meningkatkan produktivitas seseorang atau tidak. 
-       Ketiga, banyak organisasi yang dengan sengaja mendesain program untuk menciptakan sikap positif, seperti membangun citra (image) katakanlah melalui berbagai bentuk iklan agar konsumen memiliki sikap positif terhadap perusahaan. 
-       Keempat, sikap seseorang memainkan peran penting dalam studi perilaku organisasi khususnya teori motivasi.
Definisi sikap
Sikap adalah sebuah konstruk/konsep/bangunan yang bersifat hipotetik (hypothetical construct). Dikatakan demikian karena secara riil sikap tidak bisa dilihat dengan mata kepala, disentuh dengan tangan atau dirasakan dengan lidah. Untuk memahami sikap seseorang, yang bisa kita lakukan adalah mendefinisikan atau menginterpretasikan apa yang dikatakan atau dilakukan seseorang. Dengan demikian, untuk memahami sikap seseorang terhadap sebuah obyek, 
-       pertama, kita perlu mencermati apa yang dikatakan atau dilakukan seseorang terhadap sebuah obyek tersebut. Langkah selanjutnya, 
-       kedua, adalah menginterpretasikan maksud dari perkataan atau tindakan orang tersebut.
-       Ketiga, memahami perilaku orang bersangkutan.
Sikap merupakan ungkapan perasaan seseorang yang persisten (ajeg) terhadap sebuah obyek, baik ungkapan yang bernada postif atau negatif. Obyek dalam hal ini bersifat generic dan bisa diklasifikasikan menjadi dua yaitu obyek fisik dan non-fisik. Oleh karena itu obyek bisa berupa orang, tempat kerja (organisasi), gaji, pekerjaan, kejadian atau segala hal dimana seseorang bisa mengungkapkan perasaannya. Jadi, ketika seseorang mengatakan bahwa Ia mempunyai sikap positif terhadap perkerjaan berarti Ia menpunyai perasaan senang berkaitan dengan pekerjaan tersebut. Hanya saja perlu disadari pula bahwa seseorang terkadang mempunyai perasaan positif terhadap beberapa aspek pekerjaan namun di saat yang sama juga mempunyai perasaan negatif terhadap beberapa aspek pekerjaan yang lain.
Sikap, seperti halnya nilai-nilai individu (lihat penjelasan tentang peran nilai), berpengaruh terhadap perilaku seseorang. Bedanya adalah jika nilai-nilai individu mempengaruhi perilaku seseorang secara keseluruhan bahkan pada situasi berbeda, sikap hanya mempengaruhi perilaku seseorang terhadap obyek, orang atau situasi yang spesifik. Meski demikian, meski tidak selalu, nilai-nilai individu dan sikap seseorang biasanya berjalan seiring. Sebagai contoh seorang manajer yang sangat menghargai seseorang yang suka membantu orang lain mungkin akan bersikap negatif terhadap seseorang yang membantu orang lain tapi cara membantunya tanpa mempertimbangkan etika.
Komponen Sikap
Sikap seseorang terhadap sebuah obyek, orang lain atau situasi secara umum bisa dipahami melalui 3 komponen berbeda pembentuk sikap, yaitu: cognitive, affective dan behavioral component. 
-       Cognitive component adalah informasi yang dimiliki seseorang tentang obyek yang disikapi. Informasi ini meliputi data deskriptif seperti fakta, gambar, atau pengetahuan lain yang spesifik. 
-       Affective component adalah perasaan dan emosi seseorang tehadap obyek yang disikapi. Komponen ini melibatkan aspek penilaian dan emosi, dan seringkali diekspresikan dalam bentuk suka atau tidak suka terhadap sebuah obyek. 
-       Behavioral tendency component merupakan cara seseorang menunjukkan prilakunya terhadap sebuah obyek. Dalam kehidupan organisasi, sikap seseorang bisa dipahami dengan baik berdasarkan kombinasi antara cognitive dan affective component.
Hubungan antara Sikap dan Perilaku
Seringkali kita beranggapan bahwa sikap seseorang akan mempengaruhi perilakunya. Oleh karena itu jika anda hendak mengubah perilaku seseorang terlebih dahulu anda harus mengubah sikapnya. Namun dalam kenyataannya hubungan antara sikap dan perilaku seseorang ternyata tidak sesederhana itu. Hubungan keduanya sangat kompleks dan merupakan hubungan resiprokal (saling mempengaruhi) – sikap bisa mempengaruhi prilaku dan sebaliknya prilaku juga bisa mempengaruhi sikap seperti tampak pada gambar berikut:

Gambar 2.5 : Hubungan antara Sikap dan Prilaku

 Keterangan gambar
 1. Kekuatan-kekuatan yang bersifat situasional
 2. Sikap atau nilai-nilai individu
 3. Motif berprilaku
 4. Pembenaran berprilaku
 5. Prilaku
Gambar diatas menunjukkan bahwa sikap mempengaruhi perilaku dengan terlebih dahulu mempengaruhi motif berperilaku. Sedangkan perilaku mempengaruhi sikap melalui proses yang menuntut agar seseorang menyesuaikan perilakunya.
Motif berprilaku (behavior intention). Sebagian besar sikap seseorang sesungguhnya tidak secara langsung berdampak terhadap perilaku orang tersebut. Demikian juga hanya sebagian kecil dari sikap seseorang yang jumlahnya banyak sekali yang kemudian berubah menjadi perilaku. Sebagian sikap yang lain tetap hanya berupa sikap tetapi tidak berlanjut sampai menjadi perilaku. Perubahan sikap yang pada akhirnya menjadi perilaku tersebut biasanya terjadi secara tidak langsung melainkan melalui proses antara yang disebut motif berperilaku. Yang dimaksud dengan motif berperilaku adalah sejauh mana kita tertarik untuk bertindak. Jadi seperti dijelaskan pada gambar diatas, sikap akan mempengaruhi perilaku sebatas jika sikap tersebut mempengaruhi keinginan seseorang untuk bertindak. 
Motif khusus. Penetapan tujuan (goal setting) dan ekspektasi terhadap imbalan memberikan impak yang sangat besar terhadap motif berperilaku dan membantu seseorang membangun motif khusus untuk bertindak. Sekali motif khusus terbentuk biasanya terkait langsung perilaku tertentu. Tingkat kekhususan tersebut ditentukan oleh empat faktor berikut:
1. Seberapa baik prilaku tertentu telah divisualisasikan secara jelas dan detail
2. Apakah obyeknya sudah ditentukan sehingga seseorang bisa mengarahkan prilakunya ke obyek tersebut
3. Bagaimana dengan konteks yang melingkupi seseorang berprilaku sudah didefinisikan dengan jelas
4. Untuk berprilaku secara spesifik, apakah waktunya sudah ditentukan dengan jelas?
Pembenaran perilaku (behavioral justifications). Yang dimaksudkan dengan behavior modification adalah upaya seseorang untuk menginterpretasi dan memaknai perilakunya. Berdasarkan penjelasan ini, dampak perilaku terhadap sikap merupakan kebutuhan seseorang untuk membenarkan perilakunya. Oleh karenanya besarnya perubahan sikap seseorang sangat tergantung pada besarnya kebutuhan seseorang untuk membenarkan perilakunya. Hal ini terjadi jika (1) seseorang diminta untuk menjelaskan prilakunya (2) ketika seseorang menyatakannya secara terbuka, (3) jika ada alternatif prilaku dan (4) jika ada kebebasan berprilaku.
Merubah sikap
 Jika seorang karyawan ditengarai memiliki sikap negatif terhadap satu atau beberapa aspek dalam kehidupan organisasi biasanya manajer berusaha untuk merubah sikap negatif tersebut menjadi sikap yang positif. Sayangnya karyawan cenderung resisten terhadap perubahan. Oleh karena itu sebelum melakukan perubahan sikap karyawan harus terlebih dahulu diketahui bagaimana cara terbaik untuk melakukan perubahan dan kemungkinan tingkat keberhasilannya. Perubahan sikap dapat dilakukan dengan menambah, menghilangkan atau memodifikasi keyakinan atau komponen afektif lainnya. Diantaranya adalah:
1.     Memberi informasi baru.
2.     Menambah atau mengurangi rasa takut.
3.     Menambah atau mengurangi keraguan.
4.     Partisipasi dalam diskusi kelompok.
Sikap Kerja
Uraian-uraian diatas menegaskan bahwa seorang manajer perlu memahami dengan baik sikap kerja karyawan mengingat sikap positif atau sebaliknya sikap negatif tentu akan berpengaruh terhadap kinerja organisasi. Pada bagian ini akan diuraikan tiga bentuk sikap kerja yang diyakini berpengaruh terhadap kinerja yaitu: Kepuasan kerja, komitmen organisasi dan keterlibatan kerja. Namun sebelum semua itu diuraikan secara detail perlu terlebih dahulu memahami anggapan dasar dan sikap kerja seperti dikemukakan oleh T. Ndraha
[5] sebagai berikut:
1.     Kerja adalah hukuman. Sebagian orang merasa bahwa kerja adalah sebuah hukuman. Hal ini misalnya terjadi pada orang-orang terpidana yang harus menjalani kerja social – atau tepatnya kerja paksa.
2.     Kerja adalah upeti. Pada masyarakat kuno pada masa kerajaan, rakyat dianggap sebagai milik raja. Oleh karena itu di satu sisi raja menuntut pengabdian dan loyalitas sepenuhnya dari rakyat dan disisi lain, rakyat wajib mempersembahkan diri dan keluarganya kepada Sang raja yang bersangkutan.
3.     Kerja adalah beban. Bagi orang malas, kerja adalah beban. Itulah sebabnya banyak orang yang lebih suka minta-minta daripada bekerja. Demikian juga bagi pekerja yang berada pada posisi terpakasa atau dipaksa, kerja adalah beban. Lebih-lebih bagi pekerja yang bekerja tanpa imbalan
4.     Kerja adalah kewajiban. Dalam system birokrasi atau system kontrak, kerja adalah kewajiban guna menjalankan system atau memenuhi kewajiban sesuai kontrak.
5.     Kerja adalah sumber penghasilan. Pada umumnya masyarakat menganggap bahwa kerja adalah sumber penghasilan. Dengan bekerja seseorang berharap mendapat imbalan untuk menghidupi keluarga. Dalam batas-batas tertentu anggapan dasar ini menjadi pangkal profesionalisme
6.     Kerja adalah kesenangan. Karena hobi atau cocok dengan pekerjaan, sebagian orang menganggap kerja adalah sebuah kesenangan utamanya untuk mengisi waktu luang.
7.     Kerja adalah status. Orang bekerja kadang-kadang bukan ingin mendapatkan apa-apa tetapi hanya sekedar untuk mendapat status sebagai pekerja.
8.     Kerja adalah prestise atau gengsi. Bagi sebagian orang, bekerja tidak bisa sembarangan karena hal itu menyangkut gengsi dirinya.
9.     Kerja adalah harga diri. Harga diri seseorang dapat dilihat dari pekrjaan dan cara mereka kerja. Menepati janji, rajin bekerja atau bisa kerja boleh jadi bukan sekedar cara seseorang bekerja melainkan sebagai harga diri orang tersebut.
10.  Kerja adalah aktualisasi diri. Alasan seseorang bekerja boleh jadi terkait dengan cita-cita atau ambisinya. Dalam hal ini bekerja merupakan wahana untuk aktualisasi diri.
11.  Kerja adalah panggilan jiwa. Guru meski gajinya tidak banyak sering menjadi pilihan seseorang karena dianggap sebagai panggilan jiwa untuk mencerdaskan bangsa
12.  Kerja adalah pengabdian. Bagi sebagian orang, khususnya yang sudah memiliki harta kekayaan melimpah, bekerja yang tidak mendatangkan uang seperti bekerja di yayasan biasanya tetap dijalani karena kepeduliannya terhadap _esame.
13.  Kerja adalah hidup. Dalam hal ini orang bekerja karena menganggap bekerja adalah hak asasi.
14.  Kerja adalah ibadah. Kerja merupakan pernyataan syukur kepada Yang Kuasa karena diberi kesempatan hidup.
15.  Kerja itu (adalah) suci. Kerja harus dihormati dan dihargai, tidak boleh dikotori, dicemari dengan hal-hal yang menyebabkan aib.
Kepuasan kerja.
Secara umum telah dikemukakan bahwa tugas seorang manajer adalah
-       meningkat kinerja organisasi dan
-       meningkatkan kepuasan kerja karyawan –
dua variabel yang bisa saling mempengaruhi tetapi bisa juga independen satu sama lain. Beberapa kasus menunjukkan bahwa kinerja yang tinggi tidak selalu diikuti oleh kepuasan kerja karyawan. Demikian juga kepuasan kerja yang tinggi tidak selalu menyebabkan kinerja organisasi tinggi. Yang paling ideal adalah kepuasan kerja kerja karyawan diikuti oleh kinerja organisasi. Inilah harapan para maanjer pada umumnya. Oleh karena itu berbagai macam studi dilakukan untuk menciptakan kondisi ideal tersebut. Kepuasan kerja itu sendiri dalam beberapa hal dipengaruhi oleh sikap kerja karyawan dan selanjutnya berdampak pada keterlibatan kerja, komitmen organisasi dan tingkat kesehatan fisik dan mental karyawan. Sebaliknya ketidakpuasan dalam bekerja bisa meningkatkan tingkat absensi, kegersangan organisasi (organizational drift), iklim kerja yang tidak kondusif, dan persoalan-persoalan ketenagkerjaan lainnya. Oleh karena itu dalam praktik para manajer biasanya secara reguler melakukan survei untuk mengetahui sikap karyawan dan dampaknya terhadap kepuasan kerja.
Komitmen organisasi.
Komitmen organisasi adalah nilai-nilai personal yang kadang-kadang disebut sebagai loyalitas atau komitmen terhadap perusahaan. Yang dimaksud dengan komitmen organisasi adalah tingkat identifikasi diri dan keterlibatan karyawan terhadap organisasi.
Ada tiga karakteristik penting berkaitan dengan komitmen organisasi, yaitu
(1) keyakinan yang sangat kuat terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi,
(2) mau berupaya lebih keras demi organisasi, dan
(3) mempunyai keinginan yang kuat untuk tetap menjadi bagian dari organisasi.
Ketiga karakteristik ini menunujukkan bahwa komitmen organisasi bukan sekedar loyal kepada organisasi secaa pasif melainkan berpartisipasi aktif dengan memberi kontribusi personal agar organisasi berhasil.
Komitmen karyawan terhadap organisasi, disebabkan karena beberapa factor berikut ini.
1.     Faktor personal. Karyawan yang lebih tua biasanya memiliki komitmen yang lebih tinggi dibanding karyawan muda. Demikain juga karyawan perempuan lebih berkomitmen dibandingkan karyawan laki-laki. Sedangkan karyawan berpendidikan rendah akan menunjukkan komitmennya dibandingkan karyawan berpendidikan lebih tinggi. 
2.     Karakteristik yang terkait dengan peran karyawan. Komitmen organisasi akan lebih kuat jika konflik peran dan ambigu relatif lebih kecil
3.     Karakteristik structural. Organisasi yang terdesentralisasi menghasilkan komitmen yang lebih tinggi dibandingkan organisasi yang sentralistik. Dengan desentralisasi organisasi berarti karyawan bisa berpartisipasi langsung dalam mengambil keputusan yang berkaitan pekerjaannya.
4.     Pengalaman kerja. Karyawan dengan pengalaman kerja yang cukup lama dan lebih-lebih karyawan tersebut merasa memperoleh keuntungan dari perusahaan cenderung memiliki komitmen yang lebih tinggi.
Keterlibatan kerja (Job involement).
Keterlibat kerja bisa disebut sebagai nilai-nilai kerja. Secara umum keterlibatan kerja didefinisikan sebagai kekuatan hubungan antara konsep diri dan kerja individual seseorang. Seseorang dikatakan keterlibatannya dalam kerja sangat tinggi jika: (1) berpartisipasi secara aktif. (2) memandang kerja sebagai bagian dari hidup yang sangat penting dan (3) melihat pekerjaan dan seberapa baik ia bekerja sebagai bagian penting dari konsep diri mereka.
Seseorang yang keterlibatannya dalam pekerjaan sangat tinggi cenderung menyatu dengan pekerjaan – memiliki ego yang tinggi terhadap pekerjaan. Ia bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk bekerja dan manakala jauh dari tempat kerja ia selalu memikirkannya. Jika gagal mengerjakan proyek ia merasa frustasi. Jika hasil kerjanya jelek ia merasa malu. Bagi orang-orang semacam ini, pekerjaan adalah aspek penting dalam hidupnya.
Job involvement merupakan hasil dari kombinasi antara karakteristik seseorang dengan factor-faktor organisasi. Seseorang akan menunjukkan keterlibatan kerja yang lebih tinggi jika orang tersebut berkomitmen terhadap etika kerja, atau jika ia memiliki konsep diri yang sejalan dengan kinerjanya. Keterlibatan kerja yang lebih tinggi juga terkait dengan sejauh mana pekerjaan tersebut memberi kesempatan bagi dirinya untuk berpartisipasi dalam membuat keputusan penting tentang pekerjaan tersebut. Akibatnya, keterlibatan kerja merupakan hasil dari kombinasi antara orientasi nilai Si pekerja dengan karakteristik pekerjaan yang diharapkan yang memungkin ia terlibat dalam pekerjaan.
INISIASI TIGA
PERSEPSI
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering dihadapkan pada kenyataan bahwa sebuah fenomena seringkali dimaknai secara berbeda oleh orang berbeda. Sebagai contoh, hampir semua orang tahu dan boleh jadi mengiyakan bahwa istilah “jam karet” selalu berkonotasi buruk – tidak tepat waktu, tidak menghargai waktu atau suka ngulur-ulur waktu. Meski demikian ada sebagian orang yang melihat sisi positif dari jam karet. Seorang mahasiswa Jepang yang melakukan studi tentang jam karet di Indonesia menganggap bahwa jam karet adalah sebuah kenyataan bahwa orang Indonesia sangat fleksibel. Contoh ini memberi gambaran bahwa fenomena yang sama dimaknai secara berbeda oleh orang yang berbeda. Perbedaan pemaknaan ini salah satunya disebabkan karena sudut pandang dalam melihat fenomena tersebut berbeda sehingga persepsi masing-masing juga berbeda. Contoh ini juga sekaligus mempertegas sebuah postulat bahwa dunia persepsi tidak sama dengan dunia rill.
Definisi Persepsi
Persepsi sering didefinisikan sebagai proses kognitif yang memungkinkan seseorang menerima, menyeleksi, menginterpretasikan, memahami dan memaknai stimulus yang berasal dari lingkungan sekitar. Pengertian ini menegaskan bahwa persepsi merupakan sebuah proses yaitu sebuah proses kognitif. Luthan bahkan lebih tegas lagi mengatakan bahwa persepsi adalah sebuah proses kognitif yang tidak sederhana.
Dikatakan sebagai proses kognitif karena,
-          (1) persepsi bukan merupakan snapshot – potret sesaat terhadap stimulus melainkan sebuah aktivitas berjalan yang berkelanjutan dan
-          (2) dalam mempersepsi, seseorang memerlukan pengetahuan untuk memproses informasi yang terkandung dalam setiap stimulus yang hadir dan bisa ditangkap seseorang.

Proses Persepsi
Seperti telah diutarakan sebelumnya, persepsi merupakan proses kognitif yang panjang. Jika disederhanakan (lihat gambar), proses tersebut bermula dari datangnya berbagai macam stimulus. Karena stimulus jumlahnya begitu banyak sementara kapasitas manusia untuk menangkap stimulus tersebut sangat terbatas maka langkah pertama yang dilakukan seseorang adalah menyaringnya dengan alat sensor – biasa disebut sebagai indera penyaring (sensory filters). Dengan menggunakan indera penyaring maka hanya stimulus yang mendatangkan sensasi yang akan kita tangkap dan diproses lebih lanjut. Meski demikian tidak semua sensasi bisa menarik perhatian. Oleh sebab itu sensasi yang ditangkap oleh tubuh dikirim ke otak untuk diproses lebih lanjut. Otak manusia yang berfungsi sebagai alat “penyaring perhatian – attention filters” menyeleksi beberapa sensasi yang perlu mendapat perhatian. Hasilnya, hanya beberapa sensasi yang diproses lebih lanjut menjadi informasi. Pada tahap ini informasi masih acak. Oleh karena itu tahap selanjutnya, tahap terakhir, informasi dikategorisasikan dan ditata (diseleksi ulang) untuk diinterprestasi, dipahami dan dimanaknai. Dari sinilah dilakukan penilaian terhadap stimulus yang datang kepada kita dan untuk selanjutnya dibuat keputusan-keputusan yang benar menurut kriteria kita.

Stimulus                       sensasi                                atensi                     persepsi
Text Box: Sensory filters Text Box: Attention filter Text Box: Perceptual organization
 








Gambar: Proses persepsi
Dari penjelasan ini, bisa dikatakan bahwa
proses persepsi terdiri dari tiga komponen utama yaitu:
-          menangkap sensasi,
-          memberi atensi dan
-          mengorganisasi persepsi.

Selain itu, faktor internal juga tidak kalah penting dibandingkan faktor eksternal. Faktor internal berfungsi sebagai alat untuk mendapatkan perhatian (attention-getting) dan biasanya dipengaruhi oleh latar belakang psikologis seseorang. Dalam hal ini seseorang akan menyeleksi stimulus untuk diberi perhatian tentunya jika stimulus tersebut memiliki daya tarik dan cocok dengan kepribadian, motivasi dan unsur pembelajaran orang tersebut. Sebagai contoh, jika seorang guru berteriak keras untuk menenangkan murid-muridnya yang ribut sendiri, sesungguhnya bukan semata-mata karena intensitas suaranya yang ditinggikan agar menarik perhatian para murid tetapi boleh jadi karena guru tersebut memang memiliki kepribadian yang suka marah. Dari contoh ini bisa dikatakan bahwa baik faktor eksternal maupun internal, secara bersama-sama mempengaruhi proses pemberian atensi/perhatian.

Organisasi Persepsi. Setelah melalui tahap kedua yakni menyeleksi stimulus agar bisa diberi perhatian, maka tahap terakhir dari proses persepsi adalah melakukan tindakan segera setelah menerima informasi. Tahapan ini sering disebut sebagai mengorganisasi persepsi (perceptual organization). Yang dimaksud dengan mengorganisasi persepsi tidak lain adalah proses mengorganisasi dan menginterpretasi sensasi-sensasi, yang telah diubah menjadi informasi, menjadi pola yang mudah dipahami sehingga bisa memberi makna bagi orang yang mempersepsi (perceiver). Suara, aroma atau bentuk gambar visual (visual image) seringkali datang kepada kita masih bercampur baur. Oleh karena itu jika kita mampu menangkapnya selanjutnya kita mulai mencoba mengubahnya menjadi informasi. Setelah itu langkah selanjutnya adalah mengorganisasi dan mengkategorisasikannya kedalam kelompok-kelompok persepsi yang diharapkan bisa memberi makna.       

Faktor yang Mempengaruhi Persepsi
Ada tiga faktor yang mempengaruhi persepsi yaitu: individu yang melakukan persepsi, obyek yang dipersepsi dan konteks yang melingkupi terjadinya persepsi (lihat gambar).

Orang yang mempersepsi
Faktor situasi saat terjadi persepsi
Persepsi
Target yang dipersepsi
  







Gambar  : Faktor yang mempengaruhi persepsi

Orang yang Mempersepsi (Perceiver)
 Ketika seseorang melihat sebuah obyek yang disebut target untuk dipersepsi dan mencoba menginterpretasikan apa yang ia lihat maka hasil interpretasinya sangat tergantung pada dan dipengaruhi oleh karakteristik personal orang tersebut, termasuk didalamnya: kepribadian dan sikap, motivasi, interest dan pengalaman masa lalu, dan harapan seseorang.

Obyek yang dipersepsi (target)
Faktor kedua yang mempengaruhi persepsi adalah obyek atau target persepsi. Dalam hal ini perhatian terhadap obyek atau target persepsi akan difokuskan pada obyek manusia atau kegiatan sosial yang melibatkan manusia. Kedua obyek ini menjadi fokus perhatian karena mempersepsi manusia dan kegiatan sosial yang melibatkan manusia jauh lebih sulit dan lebih menantang ketimbang mempersepsi obyek yang bersifat fisik.
Ada tiga karakteriatik yang mempengaruhi obyek yang dipersepsikan yaitu tampilan, komunikasi dan status.

Konteks atau situasi
Proses mempersepsi seringkali tidak bisa dipisahkan dari konteks atau situasi pada saat persepsi tersebut berlangsung. Konteks atau situasi bahkan memainkan peran penting dalam proses mempersepsi. Di satu sisi konteks terkadang bisa menambah informasi tentang obyek yang dipersepsi. Di sisi lain, konteks juga sering berperan sebagai filter yang menghalangi proses mempersepsi. Secara umum, konteks yang mempengaruhi persepsi adalah budaya organisasi dan lingkungan tempat kerja.

Kesalahan dalam Persepsi
Secara umum jenis-jenis kesalahan dalam mempersepsi diantaranya adalah: stereotype, halo effect, mempertahankan persepsi, mempresepsi sebagian, kepribadian, proyeksi dan kesan.

Stereotype. Yang dimaksud dengan stereotype adalah kecenderungan melihat orang bukan berdasarkan perilaku individual orang tersebut tetapi berdasarkan perilaku kelompoknya. Stereotype biasanya didasarkan pada jenis kelamin, ras, umur, agama, kewarganegaraan, atau pekerjaan.
           
Halo effect. Halo effect hampir sama dengan stereotype. Bedanya adalah dalam halo effect orang yang mempersepsi mempergunakan satu kepribadian seseorang sebagai dasar untuk menilai orang tersebut secara keseluruhan. Salah satu aplikasi penting dalam kesalahan mempersepsi yang disebabkan karena halo effect adalah ketika seorang supervisor menilai kinerja bawahan. Jika misalnya salah satu atribut dari orang yang dinilai kinerjanya mempengaruhi persepsi Sang Supervisor dan sang Supervisor mengaitkannya dengan atribut lain yang tidak relevan dengan penilaian kinerja, bukan tidak mungkin penilaian kinerja yang dilakukan supervisor tidak fair dan menyesatkan

Perceptual defence. Kadang-kadang kita berhadapan dengan stimulus yang membuat kita sendiri merasa malu atau mengancam diri kita. Oleh karena itu bukan tidak mungkin kita enggan menghadapinya. Kondisi semacam ini disebut perceptual defence. Informasi yang secara personal akan mengancam kedudukan kita atau secara kultural tidak bisa diterima biasanya cenderung diabaikan kecuali informasi tersebut datang bertubi-tubi.

Mempersepsi secara selektif. Yang dimaksud dengan mempersepsi secara selektif adalah proses menyaring informasi secara sistematis untuk hal-hal yang tidak ingin kita dengar. Proses ini biasanya terjadi sebagai respon atas hal-hal yang tidak menyenangkan yang pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya.

Membuat teori kepribadian sendiri. Karena kita sering berinteraksi dengan beberapa kelompok orang, misalnya dengan orang-orang akuntansi, asuransi, seniman, atau pegawai negeri, kita biasanya kenyang pengalaman dan paham betul dengan perilaku kelompok-kelompok orang tersebut. Oleh karena itu kita cenderung membuat teori sendiri mengenai profil kepribadian kelompok-kelompok orang tersebut. Misalnya akuntan adalah orang yang pemalu, jujur, patuh, tidak asertif, dan berkata lembut. Sementara orang-orang asuransi memiliki kepribadian sebaliknya. Dalam batas-batas tertentu boleh jadi profil yang kita buat cukup akurat, tidak banyak keliru. Berdasarkan pengalaman ini pula tidak jarang kita bisa secara cepat dan akurat mempersepsi kelompok orang tersebut. Meski demikian kita tidak boleh lupa bahwa setiap orang mempunyai kekhasan tersendiri sehingga teori yang kita buat sesungguhnya hanya sebagai ancar-ancar saja agar bisa mengkategorikan kelompok orang. Jika mencermati lebih detail boleh jadi situasinya berbeda. Misalnya, tidak selalu orang yang merasa bahagia dalam pekerjaannya, pasti orang yang lebih produktif.
Menggunakan karakteristik diri sendiri untuk menilai orang lain. Seringkali ketika menilai orang lain menggunakan karakteristik yang kita miliki. Bahasa simboliknya mengukur sepatu orang dengan ukuran sepatu kita. Cara penilaian seperti ini biasa disebut sebagai projection. Seperti halnya kesalahan dam mempersepsi, projection juga bisa menjadi cara yang efisien untuk mempersepsi orang lain. Permasalahan yang berkaitan dengan projection adalah bukan sekedar menilai orang lain dengan karakteristik diri sendiri tetapi lebih dari itu yakni menilai secara negatif perilaku orang lain meski orang lain tersebut sesungguhnya tidak berperilaku demikian. Penilaian negatif kepada orang lain tersebut lebih disebabkan karena diri kita sendiri yang sesungguhnya berperilaku negatif namun kita tidak mau mengakuinya sehingga ditimpakan kepada orang lain. Dalam bahasa Sigmund Freud upaya ini disebut mekanisme mempertahankan diri sendiri (self defense mechanism) yang tujuannya adalah untuk memproteksi diri sendiri dan seolah-olah kita mampu menghadapi orang lain yang dianggap tidak sempurna.

Kesan pertama. Tidak jarang ketika kita bertemu pertama kali dengan orang lain kita mempunyai kesan tertentu, entah kesan baik atau buruk. Namun seringkali kita terpengaruh terhadap kesan pertama tersebut dan dijadikan dasar untuk memberi penilaian berikutnya.

Manajemen Impresi
Uraian terakhir yang berkaitan dengan kesalahan mempersepsi adalah persoalan kesan pertama (first impression). Seperti dijelaskan dimuka, kesan pertama seringkali mengecoh orang lain. Oleh karena itu untuk menghindari hal tersebut, agar tidak terkecoh, pihak lawan juga perlu melakukan hal yang sama yang disebut manajemen impresi. Seperti dikatakan Luthan yang dimaksud dengan manajemen impresi (impression management) adalah sebuah proses sebagai bentuk upaya untuk memanaj atau mengendalikan impresi yang dilakukan orang lain kepada diri kita. Sederhananya, manajemen impresi merupakan upaya untuk meng-counter tindakan manipulatif yang dilakukan orang lain melalui pembentukan kesan pertama. Secara umum proses manajemen impresi melibatkan dua komponen utama yaitu (1) motivasi yang melandasi seseorang melakukan impresi dan (2) konstruksi impresi.

Strategi manajemen impresi.            Ada dua strategi yang bisa dilakukan seorang karyawan dalam penerapan manajemen impresi. Jika seorang karyawan ingin meminimalkan tanggungjawab terhadap kejadian yang tidak menguntungkan atau keluar dari masalah yang selama ini mengganggu dirinya, bisa dilakukan strategi preventif (demotion-preventive strategy). Sedangkan jika ia menginginkan tanggungjawab maksimal terhadap sebuah hasil kegiatan yang dinilai positif bagi dirinya atau paling tidak dirinya tampak lebih baik, ia bisa melakukan strategi promosi diri (promotion-enhancing strategy). Untuk mengetahui lebih jauh tentang karakteristik kedua strategi tersebut silakan And abaca di BMP yang telah Anda miliki.

Self-fulfilling Prophecy
Salah satu aplikasi penting dari pemahaman kita tentang proses persepsi dalam perilaku organisasi adalah sebuah konsep yang disebut self-fulfilling prophecy. Yang dimaksud dengan self-fulfilling prophecy adalah sebuah proses yang menjelaskan bagaimana harapan yang berada pada pikiran seseorang, misalnya seorang guru atau peneliti, mempengaruhi perilaku orang lain, seperti murid atau obyek lain, sehingga orang yang dipikirkan pada akhirnya bisa memenuhi harapan orang pertama yang memikirkan.






Teori Atribusi
Pada intinya, teori atribusi menjelaskan tentang siapa yang harus tanggungjawab terhadap proses kognitif berkaitan dengan perilaku seseorang – apakah perilaku tersebut disebabkan karena kepribadiannya atau karena dorongan lingkungan. Secara umum simpulan dari teori atribusi adalah sebagai berikut:
1.      Ketika kita mengobservasi perilaku orang lain, kita cenderung mengatakan bahwa perilaku orang lain tersebut lebih disebabkan karena kepribadiannya dan faktor lingkungan sangat sedikit pengaruhnya.
2.      Ketika kita menjelaskan prilaku kita, kita cenderung mengatakan bahwa prilaku tersebut lebih disebabkan karena dorongan lingkungan bukan karena kepribadian.
3.      Dalam hubungan sebab akibat, ketika mengobservasi keberhasilan atau kegagalan orang lain kita cenderung mengkaitkan keberhasilan dengan kepribadiannya dan kegagalan dengan faktor lingkungan.
4.      Dalam menilai kinerja karyawan, kinerja yang jelek biasanya dikaitkan dengan faktor internal karyawan, khususnya jika dampak dari buruknya kinerja tersebut sangat serius.
5.      Karyawan cenderung mengaitkan keberhasilannya dengan faktor internal dan kegagalannya dengan faktor eksternal




Tidak ada komentar:

Posting Komentar